Sunday, 30 December 2007

Pahlawan Devisa dan Oknum Mata Duitan



BANYAK TKI-HK yang pernah pula berpengalaman bekerja di negara lain seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, mengakui bahwa di Hong Kong lebih ’enak’. Selain dapat libur dan gaji yang terbilang cukup besar, juga leluasa berorganisasi, dan bahkan meningkatkan potensi diri dengan mengikuti beraneka kursus, dan bahkan berkuliah! Kenyataan seperti itu, ditambah lagi apa yang tampak pada para TKI-HK yang biasanya ditemui dan dijadikan referensi tunggal para pejabat dari Indonesia yang sedang berkunjung sambil mencari masukan mengenai keberadaan TKI-HK, sering memperkuat anggapan yang keliru. Pikiran atau anggapan keliru itu diperparah lagi oleh dasar berpikir, maaf, kebanyakan para pejabat yang menyandang amanat mengurusi soal-soal per-TKI-an.


Bahwa di HK kebanyakan TKI kita tampak lebih sejahtera dibanding di negara lain, boleh jadi memang iya. Tetapi, ATKI-HK misalanya, menyatat bahwa angka underpay pernah menyentuh angka di atas 50% dari total TKI-HK yang di atas 100 ribu orang itu. Apalagi jika kita mau datang ke setiap selter yang biasanya menampung TKI yang sedang memerkarakan majikannya karena berbagai pelanggaran hukum, dan bahkan tak jarang pula menanggung memar dan luka-luka akibat ulah majikan. Ada lagi, bisa jadi juga tak sedikit, TKI-HK yang diinterminit majikannya sebelum bisa melunasi utangnya ke PT yang puluhan juta rupiah itu. Sudah kehilangan pekerjaan, dan bersama seluruh keluarganya harus diuber-uber jurutagih yang biasanya bersikap kasar, minimal dalam ucapan. Soal dapat libur? Ternyata juga tak semua TKI-HK dapat libur sesuai dengan peraturan. Ada yang dapat liburnya hanya sehari dalam sebulan, ada yang dua hari, tetapi juga ada yang tak dikasih libur samasekali.


Satu hal yang menarik, adalah pernyataan hampir semua TKI-HK, termasuk yang diinterminit dan kemudian sempat hadir dan memberikan keterangan di Festival Sastra Buruh (Blitar, 31 April – 1 Mei 2007) bahwa Pemerintah HK sebenarnya telah membuat peraturan yang sangat melindungi para pekerja asing, termasuk para TKI. Urusan per-TKI-an selalu menyangkut persoalan dua negara yakni negara pengirim dan negara penerima. Maka, negara penerimakah, atau negara pengirimkah, yang paling berpotensi memberikan peluang bagi terjadinya hal-hal buruk yang menimpa para TKI, sekali lagi, dalam hal ini TKI-HK?


Oke, anggaplah ini sekadar asumsi. Asumsi bahwa negeri kita, Indonesia, masih jauh dari cukup melindungi para warganya yang terpaksa mencari pekerjaan di luar negri. Oleh karenanya disosialisasikanlah sebutan ’’pahlawan devisa’’ itu (mirip-mirip sebutan bagi guru sebagai ’’Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’’ –yang bahkan dibuatkan pula lagunya) seolah –dan bisa jadi memang-- hanya sebagai kata-kata penghibur yang sekaligus mencerminkan bahwa mereka, para oknum yang suka mengumbar kata-kata itu, sungguh-sungguh sebegitu mata duitan-nya! []

Sumber: Tabloid Intermezo, September 2007

0 urun rembug: