DALAM sebuah ’surat pembaca’- nya bertajuk Sastra Serendah TKI yang tampil di Kompas [Jawa Timur] Kamis, 23 Juni 2005, penyair, cerpenis, esais, novelis: Viddy AD Daery mengeluh karena media tidak antusias memberitakan keberangkatan Sastrawan Indonesia ke luar negeri. Ia mencontohkan Kompas yang memberitakan keberangkatan pelukis Indonesia ke luar negeri dengan penghormatan dan kebanggaan (menurut istilah Viddy). Sementara keberangkatan sastrawan ke luar negeri (Viddy menyebut dirinya sendiri sebagai contoh sastrawan yang sering diundang ke luar negeri) cenderung didiamkan. Pada akhirnya Viddy menulis, ’’Apakah saya adalah sekadar TKI (Tenaga Kerja Indonesia, pen.) sastra?’’
Memang tidak terungkap secara eksplisit, tetapi cara pandang seperti tecermin pada kalimat-kalimat yang ’membandingkan’ TKI dengan sastra(wan) cenderung menimbulkan perkara. TKI adalah sumberdaya manusia Indonesia yang bekerja di luar negeri (lha,kalau yang bekerja di dalam negri lalu disebut apa?), sering juga disebut dengan istilah buruh migran. Mereka bekerja di berbagai sektor: industri, rumah tangga, entertaintment, pendidikan, dan tidak tertutup kemungkinan di bidang seni, sastra. Jadi, dengan cara pandang demikian, ketika seseorang diundang ke luar negeri untuk menjadi narasumber dalam sebuah seminar sastra atau tampil mempresentasikan karya-karyanya dengan upah, ia tak kurang dan tak lebih adalah seorang TKI (sastra) juga!
Barangkali TKI yang dimaksudkan dalam surat pembaca itu adalah orang Indonesia yang bekerja di luar negeri di sektor-sektor yang biasanya dipandang rendah: buruh pabrik, domestic worker (pekerja rumah tangga). Sayangnya, di dalam kamus bahasa Indonesia telanjur ada kata ’babu’ untuk menyebut: pekerja rumah tangga, pramuwisma, pembantu rumah tangga, alias domstic worker itu, yang nilai rasanya memang sangat negatif, merendahkan.
Masyarakat awam dengan segenap konstruksi budayanya hingga kini memang masih memandang rendah orang-orang yang bekerja sebagai buruh pabrik, pramuwisma, dan semacamnya. Bahkan, pemerintah pun tampaknya memiliki cara pandang yang kurang-lebih mirip dengan cara pandang masyarakat awam: ’’tidak menghormati’’ para buruh sebagai manusia, warga negara, yang betapapun di atas kertas, oleh undang-undang, dijamin sama hak dan kewajibannya di hadapan hukum. Tengoklah, seorang Presiden Philipina keraya-raya datang dan mengurus sendiri salah seorang warganya, seorang domestic worker, yang sedang terancam hukuman mati di negara lain. Lalu lihatlah ’diri kita sendiri’! Dalam sepekan (antara Minggu ke-2 dan ke-3 Juni 2005) ada dua paket peti mati mendarat di Bandara Juanda (dari Hong Kong). Sebuah peti mati berisi jenasah seorang domestic worker asal Banyuwangi yang terjatuh dari apartemen majikannya, dan sebuah peti mati lagi berisi jenasah seorang domestic worker asal Trenggalek yang meninggal karena kecelakaan lalu-lintas (tertabrak truk). Beberapa waktu lalu Ponorogo juga mencatat kematian 4 orang buruh migran dalam kurun waktu yang sangat berdekatan. Mereka hanya dicatat sebagai angka-angka. Kita seolah tak pernah merasa berduka. Padahal, para buruh migran, TKI (tentu juga termasuk TKI ilegal) adalah penyumbang devisa terbesar setelah sektor migas!
Lebih fatal lagi jika kaum cendekiawan, termasuk sastrawan yang seharusnya sangat tajam rasa kemanusiaannya, memandang rendah TKI atau buruh migran. Atas dasar apa mereka dipandang rendah? Dari segi pendapatan, gaji seorang pramuwisma di Hong Kong sekarang ini adalah 3.320 dolar Hong Kong (1 dolar senilai dengan sekitar Rp 1.200,00). Coba, berapa rupiahkah gaji seorang dosen yang bahkan menjabat pula sebagai Ketua Dekan di perguruan tinggi negeri di Indonesia?
Jika kita menilainya dari sisi ’’bekerja di bawah tekanan’’ (majikan) pun justru makin jelas bahwa tak ada alasan untuk memandang rendah TKI. Karyawan, pegawai (tak kurang dan tak lebih adalah buruh juga) di Indonesia, baik yang bekerja di sektor swasta, semiswasta, maupun negeri, jangankan yang golongan rendah, yang disebut sebagai pejabat pun, mereka bekerja di bawah tekanan. Mundhuk-mundhuk-nya kepada atasan sering melampaui mundhuk-mundhuk-nya seorang pramuwisma terhadap majikannya! Tidak jarang pula pejabat yang suka ’menjilat’, bukan? Juga, tingkat ketakutan mereka akan kehilangan jabatan tak jarang melebihi tingkat ketakutan pramuwisma terhadap ancaman pemecatan dari majikannya.
Akan lebih bodoh lagi jika kita terburu-buru percaya kepada statistik yang mengatakan bahwa para perempuan yang berbondong-bondong keluar negeri untuk mengisi lowongan pekerjaan sebagai pramuwisma itu berpendidikan rendah. Jangan salah, data-data bisa diubah dengan gampang. Catatan mengenai alamat, usia, pendidikan terakhir bisa dipalsukan (baca: Catatan Harian Seorang Pramuwisma, Rini Widyawati, JP-BOOKS, 2005). Banyak sarjana, bahkan dari perguruan tinggi paling ngetop di Indonesia, yang kemudian bekerja sebagai pramuwisma di luar negeri. Mereka itulah yang antara lain muncul sebagai kelompok yang kritis, mendirikan LSM untuk memperjuangkan keadilan bagi diri dan rekan-rekan mereka karena merasa tidak ada pihak lain (jangan-jangan termasuk pemerintah) yang benar-benar peduli terhadap nasib mereka. Jadi, perempuan-perempuan pramuwisma di luar negeri itu bukanlah kelompok manusia yang pantas diperbudak atau diperbabukan.
Nah, ini yang tak kalah menarik: di Hong Kong ada kelompok-kelompok pramuwisma yang memiliki ketertarikan pada dunia penulisan. Bahkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang dikomandani Helvy Tiana Rosa (sastrawati, anggota DPR-RI) memiliki cabangnya pula di Hong Kong. Ada lagi Café de Kosta, semacam forum penulis yang dikomandani Ida Permatasari, perempuan asal Blitar yang bekerja sebagai wartawan Berita Indonesia di Hong Kong. Pada tanggal 10 Juli 2005 Café de Kosta akan menggelar workshop penulisan dengan mendatangkan 2 orang narasumber dari Jawa Timur: Bonari (Surabaya) dan Kuswinarto (Malang).
Ada setumpuk karya mereka: opini, cerpen, novelet, laporan jurnalistik, yang sempat membuat terperangah. Mereka benar-benar hebat. Nama-nama: Ida Permatasari, Wina Karnie, Etik Juwita (Blitar) Dian Lili Hartati, Tarini Sorrita (Jawa Barat), Hartanti (Ponorogo), Lik Kismawati (Surabaya), Tania Roos, Mega Vristian (Malang) dan lain-lain adalah nama-nama yang layak diperhitungkan, yang selama ini belum sempat terekspose. Mereka punya potensi luar biasa, termasuk potensi melahirkan sarjana sastra (sosial). Karya-karya mereka adalah bahan kajian yang tentu sangat penting, menarik, yang selama ini bagaikan rimba raya yang belum sempat terjamah.
Tentu, jangan abaikan pula ’alumnus Hong Kong’ Denok Rokhmatika (cerpenis), dan Rini Widyawati yang telah melahirkan buku Catatan Harian Seorang Pramuwisma.
Tarini Sorrita yang kini juga sedang mempersiapkan buku kumpulan cerpennya, bahkan sudah pula menyusun buku kumpulan esai dalam bahasa Inggris berjudul Big Question dengan subjudul yang kurang lebih berarti: Jangan Pandang Enteng Pramuwisma. Nah! []
0 urun rembug:
Post a Comment