Friday, 19 September 2008
Orang Miskin Banyak yang Mati Orang Korupsi Banyak yang Sakit
Pada bulan Puasa yang seharusnya jadi bulan penuh berkah ini, kita masih saja menyaksikan banyak musibah, dan dan sebagian dari warga bangsa (Indonesia) ini pulalah yang menjadi korban. Setelah berbagai kecelakaan lalulintas laut, udara, darat, yang merenggut sebegitu banyak korban, kecelakaan kerja berupa kejatuhan atap baja (Jawa Tengah), dan terjatuh dari gondola yang putus talinya (Jakarta), kita lagi-lagi dikejutkan oleh tewasnya 21 perempuan di arena pembagian zakat. Duh!
Ada pula yang masih memungkiri bahwa kematian 21 perempuan di Pasuruan itu bukan semata-mata akibat kemiskinan. Lalu apa kira-kira ya, jika bukan kemiskinan faktor utamanya? Orang mau berdesak-desakan di bawah terik matahari, dan membiarkan diri yang siap ’’tangan di bawah’’ (menjadi pihak yang diberi) dan dilihat banyak orang untuk mendapatkan uang sekitar Rp 30 ribu –Rp 40 ribu. Anda bisa mencari jawabannya sendiri.
Tetapi, ada pula lho, pihak-pihak yang khawatir jika kita langsung menuding kemiskinan sebagai biangnya. Sebab, kita sedang disuguhi informasi bahwa angka kemiskinan menurun. Tetapi, njlekethek-nya, ndilalah-nya, musibah itu terjadi, nyawa melayang untuk Rp 30 ribu. Itu seharga nasi pecel di warung ’kita’ yang ada di kawasan Causeway Bay itu ya? Padahal, dulu-dulu, setidaknya sebelum angka kemiskinan diturunkan, paling-paling ada korban jatuh pingsan satu dua orang dalam antrian pembagian zakat seperti itu. Kali ini, mati, dan jumlahnya tak hanya seorang dua orang, melainkan dua puluh satu orang. Dan mereka semua perempuan!
Korban mati 21 orang, itu angka yang luar biasa banyaknya. Tetapi itungan korban tak berhenti di korban mati. Salah seorang korban mati itu misalnya, meninggalkan 3 orang anak kecil-kecil yang menjadi piatu setelah kakek, kemudian ayah mereka, meninggal hampir secara berurutan tak lama sebelum kemudian disusul ibu mereka.
Orang kaya berderma, bersedekah, berzakat, itu memang sudah kewajiban mereka. Tetapi, kalau boeh disebut sebagai pelajaran yang sangat mahal, peristiwa arena pembagian zakat yang menjadi padang maut seperti di Pasuruan itu mesti pula segera disusul dengan kesadaran bahwa cara-cara mengundang massa seperti itu kini sudah bukan zamannya lagi. Kalau memang mau memberi, antarkanlah pemberian itu ke alamat masing-masing penerimanya. Tak bisa melakukannya sendiri, pasti ada orang-orang tepercaya yang bisa melakukannya. Atau menyerahkannya ke lembaga zakat yang tepercaya.
Seorang wartawan di sebuah kota di Jawa Timur yang punya pengalaman meliput aksi bagi zakat yang menjadi tradisi tahunan sebuah keluarga kaya di kotanya mengaku, ’’Begitulah memang, walau sudah mulai ada yang ngantre, si pemilik hajat (tuan rumah yang membagikan zakat, Red.) itu biasannya belum akan memulai membagikan zakat kalau belum ada wartawan yang datang.’’ Nah, kan? Lha niyatnya ngibadah atau pamer?
Naudzubillah! Tampaknya masih saja ada orang yang merasa senang ketika menyaksikan massa yang berbondong-bondong dan berdesak-desakan untuk mendapatkan uang receh yang ’disebarkan.’ Perasaan senang (pengalaman sensasional) seperti itulah tampaknya yang juga mengilhami dilakukannya penyebaran uang kertas dari ketinggian tertentu (memakai helikopter?) di Tangerang beberapa waktu lalu. Masya-Allah!
Ini juga pelajaran bagi lembaga-lembaga zakat yang selama ini kurang mendapatkan kepercayaan untuk menunjukkan kinerja yang bagus, yang transparan, sehingga kecurigaan-kecurigaan masyarakat semakin pupus.
Demikianlah, orang miskin banyak yang mati. Dan orang korupsi sering sakit, sesering mereka dipanggil untuk disidang! [Bonari Nabonenar]
intermezo edisi sept 08
0 urun rembug:
Post a Comment