Cak Kadaruslan menceritakan pengalamannya, pernah dipisuhi “Jancuk! Jancuk!” oleh Grup Galajapo. Yaitu sebagai pecinta seni, Cak Kadaruslan menyelenggarakan pagelaran seni, tetapi grup pelawak tidak dikatutkan. Itu salah tangkap. Sebab untuk pelawak, oleh Cak Kadar sudah disiapkan untuk digelar di luar. Sebagai pelawak, mestinya tidak boleh cepat emosi, marah-marah. Pelawak itu memberikan hiburan kepada khalayak, tidak memarahi khalayak. Cak Djadi sungguh mengaku khilaf soal peristiwa itu. Dulu sudah minta maaf, sekali ini juga sungguh-sungguh minta maaf.
Suko Widodo sebagai pembicara resmi tentang buku ini, sangat mendukung seorang person menerbitkan buku, siapa pun dia, bagaimana nasibnya, perjuangan hidupnya, apa profesinya, apalagi “punya nama”, punya track-record aktivitas seperti Djadi Galajapo di Surabaya. Tapi harus jujur, sebab bagaimana pun juga bukunya itu akan merupakan gambaran sejarah kehidupan bangsa waktu buku itu ditulis, yang bisa dijadikan pembelajaran bagi generasi pembaca untuk menyiasati kehidupan masa depan yang lebih baik. Melihat sekejab bukunya (karena baru diberi ketika masuk ruangan itu) Pak Suko mengeritik tentang banyaknya sanjungan-sanjungan, puji-pujian di buku tadi, terutama 50 halaman terakhir (dari 146 halaman). Tapi juga memuji Cak Djadi, sebagai pelawak dia juga memperhatikan profesi sosial yang lain dijadikan bahan memperkuat melawaknya, misalnya mau berdakwah sementara pentas, juga memperhatikan profesi guru (Cak Djadi lulusan IKIP Surabaya, pernah ditugaskan sebagai guru pns di Pacitan, tapi mengundurkan diri karena pns kan singkatan dari penghasilanipun namung sekedhik). Dengan perhatiannya pada profesi lain, maka di mana pun dia naik pentas menjalani profesinya sebagai pelawak, dia bisa bicara lucu tepat pada profesi lain tadi dan diterima oleh publik profesi itu.
Sabrot D. Malioboro dapat giliran tampil, dengan lebih dahulu disanjung oleh Cak Djadi karena terus-terangnya berani mengeritik sikap atau tingkah Cak Djadi langsung di hadapannya. Cak Djadi sangat aprisiate menerima kritik seperti itu. Dengan menerima kritik dia menjadi lebih sadar dan dewasa ketika pentas menjalani profesinya sebagai pelawak. Sedangkan kalau hanya menerima puji-pujian seperti yang dituturkan Pak Suko Widodo, ia bisa mabuk kepayang, terlena, kurang berkualitas. Sabrot menceritakan ketika Cak Djadi jadi MC di acara kampanye Walikota Blitar. Walikota Blitar berkampanye politik pidato berapi-api. Lalu sebagai MC Cak Djadi bicara sela acara, juga berapi-api seolah-olah terseret virus politik Walikota Blitar. Sabrot memperhatikan peristiwa itu dari Surabaya. Ketika bertemu di Balai Pemuda, Sabrot langsung bilang kepada Cak Djadi. “Kamu ini pelawak. Jangan ikut-ikutan di bidang politik. Tekunilah profesimu, maka kamu akan bahagia!”
Bagong Suyanto membuka bicaranya menuduh Djadi tidak jujur apa yang ditulis (diceritakan) pada peristiwa mendapat job bersama aktris, lalu sampai berduaan saja dengan aktris itu, tapi peristiwanya berakhir dengan menutup perut perempuan tadi dengan handuk. Apa betul-betul peristiwanya berakhir sampai di situ, apa yang ditutup hanya perutnya, itu yang disangsikan oleh Pak Bagong. Bahwa peristiwa semacam itu termasuk kehidupan para seniman panggung, bisa dimengerti. Langsung dijawab oleh Cak Djadi peristiwa dan akhirnya persis seperti itu. Kalau tidak, bukankah itu rahasia kejelekan peribadi, mengapa diceritakan? Intinya, begitulah godaan di profesinya, namun Cak Djadi (dan banyak orang berprofesi seperti itu juga) bisa tetap hidup suci.
Orang Cina itu kurang diterima baik oleh masyarakat Jawa. Seringkali Pak Bagong berjalan-jalan dengan istrinya, kemudian ditegur oleh teman bermata sipit, istrinya melengos dengan ucapan bernada menghindar, “Cina ngono, lo!” Istrinya tidak sadar bahwa Pak Bagong itu juga Cina. Itulah gambaran yang diberikan oleh Pak Bagong bahwa pada umumnya orang Cina tidak diterima dengan rela hati oleh masyarakat Jawa. Untuk bisa diterima banyak sekali orang Cina harus mengganti namanya dengan nama Jawa, termasuk Pak Bagong Suyanto. Banyak (sekali) orang Cina untuk berasosiasi dengan orang Jawa mengganti namanya dengan nama Jawa, tetapi Pak Bagong belum pernah dengar orang Jawa yang mengubah namanya dengan nama Cina. Orang Jawa yang memberi namanya dengan nama Belanda, nama Arab, nama Buda, banyak. Tapi menggunakan nama Cina, Pak Bagong tidak pernah dengar. Ya baru HM Cheng Ho Djadi Galajapo ini. Itupun dulu, ketika Cak Djadi memberitahu bahwa kalau dia berhasil naik haji mau menambah resmi namanya dengan Haji Mohammad Cheng Ho, Pak Bagong juga tidak percaya. “Ya, kalau memilih nama Cheng Ho sebaiknya minta izin dulu sama yang berwenang, karena nama Cheng Ho sudah jadi nama masjid di Surabaya,” saran Pak Bagong ketika itu, ragu-ragu, tak percaya. Ternyata benar, Cak Djadi yang semula dikenal oleh Pak Bagong bernama asli Jawa Sudjadi yang kelahiran Dadap Kuning Cerme Kabupaten Surabaya itu setelah naik haji namanya ditambah Haji Mohammad Cheng Ho. Nama Cheng Ho dipilih setelah Cak Djadi mendengar keheranan Pak Bagong tentang nama orang Jawa yang suka mengubah namanya jadi nama Arab atau Belanda, tapi tidak ada yang mengubah namanya dengan nama Cina. Waktu mendengar itu, Cak Djadi bilang, wajar saja begitu, karena orang Jawa kan kebanyakan orang Islam, jadi ingin menandaskan keislamannya dengan nama Arab. “Itu pikiran kurang pas,” ujar Pak Bagong. “Karena orang Cina yang islam juga banyak, dan bahkan yang membawa Islam ke Tanah Jawa, adalah orang Cina. Yaitu Laksamana Cheng Ho.” Terobsesi oleh percakapan tadi, maka ketika Cak Djadi berhasil menunaikan ibadah haji, maka mengubah namanya ditambah Haji Mohammad Cheng Ho Djadi Galajapo.[]
Sumber:
Blog-e Pak Parto (Suparto Brata, 22 September 2008)
0 urun rembug:
Post a Comment