Monday 22 September 2008

HM CHENG HO DJADI GALAJAPO NERAKA WAIL DAN KUE TERANG BULAN [4]

Diskusi ini juga disela pembagian buku HM Cheng Ho Djadi Galajapo NERAKA WAIL DAN KUE TERANG BULAN. Mereka yang mendapat diundi melalui door-prize. Yang namanya disebut, segera maju ke depan menerima bukunya dari Cak Djadi. Hampir terakhir, namaku disebut. Mengerti namaku dan tempatku (di kursi belakang) Cak Djadi tidak memanggil saya, tetapi dia yang datang membawa bukunya ke tempat saya duduk. “Terima kasih, Cak Djadi, saya dapat kehormatan begitu.”

Setelah sambutan-sambutan orang-orang penting, maka ditawarkan para hadirin yang mau bertanya. Banyak yang angkat tangan, tetapi karena waktu mendekati magerip, hanya tiga orang dipersilakan. Seorang ibu mendapat prioritas bicara, karena sejak tadi yang ngomong laki-laki. “Judul bukunya kok NERAKA WAIL DAN KUE TERANG BULAN, apa maknanya dan diilhami dari mana?”

Cak Djadi menjawab (ceritanya juga ditulis di bukunya), bahwa kakeknya yang semula menekuni penghayatan Sapta Darma, menyuruh Djadi rajin mengaji di surau dekat rumahnya. Kemudian setelah Djadi bertambah besar dan rajinnya mengaji di masjid, kakeknya juga berangsur-angsur mengikuti sholat di masjid, dan simbul-simbul Sapta Darmanya (misalnya gambar wayang Semar) hilang dari rumahnya. Namun kelakuan Djadi untuk naik pentas menjadi pelawak, tidak berubah. Tiap ada kesempatan (misalnya perayaan 17 Agustusan) Djadi pasti naik pentas melawak. Ini membuat kakeknya malu. “Koën iku gak isin, tah, modhuk teka masjid terus mbanyol ndhuk panggung? Wong lèk mbanyol gawe guyu wong liya iku mbesuke mlebu ndhuk Neraka Wail!” Dari pemahaman begitu akhirnya dengan keras kakeknya melarang Djadi naik pentas melawak. Djadi jadi kepikiran. Ingin terus meraih cita-citanya (yang sudah jadi kebiasaannya) dengan melawak, tapi kalau ketahuan kakeknya, dimarahi. Pada hal cita-citanya jadi pelawak sudah mulai mendapatkan hasil, kalau naik panggung dapat uang. Djadi putar otak, bagaimana supaya kakeknya tidak melarang dia naik panggung. Djadi tahu kakeknya sore hari suka minum kopi dengan nyamikan. Yang paling suka kue terang bulan (nama kue di Surabaya, di Jawa Tengah mungkin namanya srabi bandung, di Jakarta Timur martabak manis). Maka, ketika Djadi dapat tanggapan dan dapat hr, ia membelikan kue terang bulan. Waktu sore kakeknya minum kopi, kue terang bulan dihidangkan. Dimakan oleh kakeknya sampai habis. Ketika ditanya dari mana dapat terang bulan, dijawab dari hasil melawak naik panggung. Sang kakek skak mat! Djadi sudah bisa berdalih, bahwa dia seringkali mendengarkan ceramah ustad yang disela guyonan gar-ger.Ceramah ustad dengan melawak, menjadi segar dan tidak masuk neraka wail. Djadi juga berdalih, bahwa nanti ketika melawak di pentas, ia juga akan sertamerta berdakwah. Jadi juga tidak masuk Neraka Wail! Sang kakek menerima.

Diskusi diakhiri karena azan magerip, dan selesai setelah pengunjung buka puasa di ruang sebelah.

Tidak ada sahabat dekat, usai berbuka puasa saya pulang. Menunggu lift buka, saya dengar percakapan di belakang saya (juga menunggu lift tentunya) jawaban perempuan mengatakan bahwa dia baru habis bertugas dari Pasuruan, mengunjungi keluarga penerima zakat yang kena musibah itu. Saya menolih. “Pak Parto, ya? Mengapa, Pak, di sini?” Siapa, ta? “Nani,” jawabnya. Oh, Nani Wijaya! Saking terharuku hampir saja dia kurangkul. Tampak lebih cantik, karena rambutnya lebih panjang, tidak jongen-kop seperti yang saya kenal sebagai direktrisku ketika saya ditugasi menjadi pemimpin redaksi tabloid Jawa Anyar di Solo. Waktu itu saya (dengan Mas Bonari Nabonenar juga) banyak dapat bimbingan dan arahan cara menyelenggarakan penerbitan tabloid dari Bu Nani Wijaya ini, sangat bermanfaat sekali.[]

Sumber:
Blog-e Pak Parto (Suparto Brata, 22 September 2008)

0 urun rembug: