Thursday, 1 May 2008

Lah, Jorok, Gimana Mau Laris?

Dua orang laki-laki muda membuka warung tenda di pinggir jalan yang cukup ramai. Saya melihatnya setelah beberapa hari ke luar kota. Mungkin warung itu baru buka hari itu, saat pertama kali saya melihatnya, atau beberapa hari sebelumnya. Seperti sekian banyak warung tenda lainnya, menu andalannya adalah nasi sambal dengan lauk tempe, tahu, ayam, bebek, kepiting, dan lele goreng.

Saya yang tergolong berselera pemberani (maksudnya: suka makan pedas) pun penasaran untuk menyobanya. Kasihan, warung baru itu agaknya belum mendapatkan pelanggan. Hanya seorang dua orang saja yang datang, pun kadang hanya melongok dan segera balik kanan begitu lauk yang dicarinya tidak tersedia.

Saya pun tertarik mengamati karena, pikir saya, kedua laki-laki muda ini adalah orang-orang yang tak mau tinggal diam, sementara banyak laki-laki seusia mereka suka kebut-kebutan dengan sepeda motor pemberian orangtua mereka, ini malah berusaha. Berani menyoba berbisnis di saat mereka masih tergolong muda. Kira-kira seusia anak SMA-lah mereka. Sungguh membanggakan.

Tetapi, pelahan-lahan rasa bangga itu terkikis tatkala melihat potongan daging ayam dan bebek yang ada di nampannya, yang siap digoreng itu. Potongan-potongan dada, paha, sayap dan kepala itu tampak begitu jorok karena banyak bulu yang belum tercabut. Perut yang tadi terasa lapar pun mendadak tidak lagi kepengin makan.

Tambah lagi, salah seorang di antara mereka, merokok tak putus-putusnya sambil meracik nasi bungkus dengan lauk sambal dan bebek goreng yang saya pesan. Agak mending bagi saya, karena saya pun perokok. Coba, kalau pembelinya seorang perempuan atau laki-laki pun, yang benci rokok, pastilah bau asap rokok itu akan melekat di nasi, bungkusnya, dan akan terus tercium sampai kapan pun.

Dua laki-laki muda ini layak diacungi jempol dalam hal kegigihannya berusaha. Tetapi, sungguh kasihan, mereka tampak sangat minim wawasan, bagaimana melayani pembeli, bagaimana memersiapkan diri sebagai seorang pengusaha warung yang berpotensi menuai sukses. Lah, kalau gayanya begitu, melayani pembeli sambil terus klepas-klepus rokokan, dan menyabuiti bulu ayam atau bebek saja nggak bisa benar-benar bersiah, bagaimana warungnya bisa laris atau ramai pembeli? Itulah pertanyaan besarnya. [peduli-24]

0 urun rembug: