Saturday, 17 May 2008
Ketika Harga BBM Naik
Tak lama lagi, Pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat. Belakangan ini para pengguna kompor minyak di perkotaan juga ribut soal konversi BBM ke BBG. Dari bahan bakar minyak ke bahan bakar gas. Ada yang ribut karena merasa pembagiannya tidak merata, ada yang meributkan kualitas tabung gas ukuran 3,5 kg yang dibagikan secara gratis agar masyarakat yang selama ini memakai kompor minyak dengan senang hati beralih ke kompor gas. Keributan itu diselingi pula oleh kejadian ledakan tabung gratis di beberapa tempat. Kecelakaan berupa ledakan itu bisa disebabkan oleh kualitas tabung yang memang kuarang andal, bisa pula karena pengetahuan masyarakat tentang pemakaian kompor gas masih kurang.
Karena pasokan minyak tanah dikurangi, seiring dengan beredarnya sarana berupa kompor dan tabung gas itu, antrean pun terjadi di mana-mana. Tak sedikit pengantre yang baru mendapatkan 5 – 10 liter minyak tanah setelah setengah atau bahkan hampir sehari penuh mengantre. Nah, meminta secara sukarela atau apalagi secara paksa para jompo untuk mengantre minyak tanah pastilah tidak manusiawi. Maka, bisa dibayangkan, betapa banyak orang usia produktif harus berhenti bekerja untuk bisa mengantre minyak tanah itu. Itung jumlah orang dan kalikan dengan jam kerja yang hilang demi 5 liter minyak tanah! Ini satu di antara sekian banyak persoalan yang timbul akibat kebijakan yang kesuksesannya baru tampak dalam hal: menghebohkan, itu.
Lalu, minyak tanah menjadi barang langka. Pak Tua yang biasanya melintas di depan rumah sambil teriak, ’’Nyaaaaakkkk…. minyaaaakkkk…!’’ itu pun sempat ’libur’ untuk beberapa hari. Artinya, Pak Tua itu pun sempat kehilangan pekerjaan. Padahal, dapur harus ngebul setiap hari. Anak-anak mesti disekolahkan, dengan biaya yang makin mahal. Sekolah gratis? Prekethek! Omong kosong. SPP boleh dihapus, tetapi iuran untuk ini, itu, baju seragam, buku, ongkos transportasi, makin hari makin mahal juga. Kalau masih ada orang berseru, ’’Pendidikan murah, sekolah gratis… dan semacamnya,’’ omong kosong, kan? Bohong, kan?
Kang Jemangin bisa bersabar ketika tidak mendapat jatah kompor dan tabung gas gratis sementara semua tetangganya sudah mendapatkannya. ’’Syukurlah, mungkin keluarga saya tercatat sebagai keluarga yang lebih mampu dan dipandang oleh pemerintah tidak perlu diberi gratis,’’ komentar Kang Jemangin bijak. Tetapi, penyabar yang bernama Kang Jemangin itu pun ternyata bisa emosional pula ketika minyak tanah sempat lenyap dari peredaran.
’’Maunya pemerintah ini gimana ta? Minyak ilang. Gas juga ilang. Saya sudah beli kompornya, tinggal tabungnya. E, susahnya minta ampun. Di mana-mana dibilang gak jual tabung. Ada satu dua tempat yang jual, harganya berlipat tak masuk akal. Semprul tenan kok!’’ Lalu keesokan harinya koran-koran ikut meributkan, di Surabaya aparat kepolisian menemukan penimbun minyak tanah. Lalu di tempat lain ditemukan hal serupa. Begitulah ulah pengusaha ’kreatif’ yang benar-benar harus dihajar. Mereka mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Mereka tak lagi layak disebut spekulan. Spekulan itu orang yang melakukan tindakan untung-untungan. Kalau menyangkut minyak tanah, BBM, sekarang, tindakan menimbun itu bisa dipastikan bakal untung. Jadi, bukan untung-untungan. Nah!
Konon, Pemerintah pun merasa kejepit, berada dalam posisi sulit. Menaikan harga BBM , seperti pernah terjadi, selalu menambah jumlah orang miskin. Jadi, dalam waktu dekat ini, dipastikan akan banyak orang miskin baru. Apalagi, kalau bantuan langsung tunai (BLT) yang pernah dikucurkan untuk keluarga miskin beberapa waktu lalu --dan telah dihentikan—nanti dikucurkan lagi. Orang yang benar-benar miskin dan agak miskin akan beramai-ramai mendaftarkan diri mereka sebagai orang miskin.
Dalam soal teknis pun Pemerintah berhadapan dengan dilema. Bikin ancang-ancang dengan mengabarkan rencana kenaikan harga BBM itu memancing pengusaha menaikkan harga barang-barang lain, dan bahkan memancing ’usaha’ penimbunan secara ilegal. Kalau tak diumumkan jauh-jauh hari sebelumnya, nanti dibilang nggak ada sosialisasi. Repot, kan?
Orang Jawa punya peribahasa, ’’Ngglandang carang saka pucuk,’’ (menyeret ranting dari ujungnya). Artinya, urusannya bakal besar di belakang. Begitulah urusan menaikkan harga BBM ini. Sebab, jangankan ketika nanti benar-benar dinaikkan, sekarang pun harga barang-barang kebutuhan, sudah mendahului naik. Di Malang, pemilik sebuah toko bangunan mengaku bahwa harga semen setiap pekan naik Rp 500/sak. Berarti, dalam sebulan angka kenaikan itu akan menjadi Rp 2.000. Nah, bagaimana kenyataan seperti itu tidak memicu tindakan-tindakan penimbunan untuk menanguk keuntungan yang relatif besar?
Maka, jangan heran jika kelak akan menjamur usaha gelap penimbunan itu. Garam ditimbun, terasi ditimbun, bahan-bahan bangunan ditimbun. Jangankan barang, lho, sekarang ini, Anda mau lihat?- orang pun ditimbun! Orang hidup lho, kalau orang mati sih, kalau dikubur, ya ditimbun, pasti itu! Maka, ayo bikin puisi berjudul: Orang Menimbun Orang!
Harga BBM, saat tulisan ini dibuat belum secara resmi naik, memang. Tapi, tak lama lagi, tampaknya Pemerintah sudah tak punya pilihan lain. Dan ketika harga BBM benar-benar secara resmi naik, nanti, harga barang-barang lain sudah di awang-awang.
Akhirnya kita berharap, kalaulah benar-benar harga BBM terpaksa dinaikkan, Pemerintah hendaknya juga semakin serius menambal lubang kebocoran uang negara dengan cara semakin tegas menangkap para koruptor, serius dalam hal pengawasan, membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak semakin menindas orang-orang yang dibiarkan pun sudah tertindas.
Maka, janganlah lagi, lagi-lagi, kita disuguhi fakta: orang gantung diri karena kemiskinan, orangtua membakar anak-anaknya sendiri sebelum bakar diri jugakarena kemiskinan, tukang becak pingsan dan bahkan mati kelaparan, anak-anak kurang gizi berguran. Itulah berita, bukan kabar burung, yang seharusnya tak hanya membuat kita malu semalu-malunya, tetapi juga sedih sesedih-sedihnya, sebagai sebuah bangsa yang suka menggambarkan tanahairnya sebagai: gemah ripah loh jinawi.
*) Ditulis untuk Tabloid Intermezo edisi Mei 2008
0 urun rembug:
Post a Comment