Wednesday 11 August 2010

Bayu Insani

Pertama-tama aku mengenal namanya, via Facebook (?) aku mengira ia seorang laki-laki. Kemudian segera tahu bahwa ia salah seorang perempuan asal Indonesia yang sekerang bekerja sebagai buruh migran di Negeri Beton, Hong Kong. Sampai sekarang, bahkan, saya pun belum tahu pasti apakah Bayu Insani itu nama pena atau juga nama aslinya. Nama ini, seperti sekian banyak nama buruh migran asal Indonesia di Hong Kong lainnya, ada di daftar teman Facebook saya, masuk menyusul nama-nama penulis lain di sekitarnya yang saya kenal lebih dulu: Mega Vristian, Wina Karnie, Etik Juwita (keduanya sudah kembali ke Indonesia) Aliyah Purwati, Nadia Cahyani, Maqhia Niswana Ilma, Susie Oetomo, Ida Raihan, dan lain-lain yang akan terlalu panjang jika saya sebut semuanya.

Memang daftar itu akan sangat panjang. Beberapa kali, di dalam tulisan saya mengenai gerakan literasi di kalangan buruh migran asal Indonesia di Hong Kong (selanjutnya kita singkat saja sebagai BMI-HK), saya menyatakan bahwa komunitas penulis di kalangan BMI-HK sebegitu suburnya, sehingga akan bisa membuat orang terkejut jika membandingkan jumlah terbitan bukunya dengan, misalnya, yang diterbitkan oleh sebuah fakultas, bahkan yang bernama fakultas sastra di perguruan tinggi di Indonesia. Saya sadar, pernyataan saya itu akan segera terasa sangat provokatif, dan dengan demikian semoga semakin banyak akademisi sastra, atau pun dari disiplin ilmu terkait lainnya yang sudi melirik karya-karya anak bangsa yang sering dipandang dengan sinis ini.

Itu baru soal jumlah. Soal kualitas bagaimana? Etik Juwita –seorang BMI-HK, sekarang meneruskan studi di Universitas Gajayana, Malang, menempatkan sebuah cerpennya yang pernah dimuat Jawa Pos, Bukan Yem, dalam daftar 20 Cerpen terbaik Indonesia versi Pena Kencana, yang kemudian dibukukan oleh Gramedia (2008). Beberapa orang BMI-HK menjadi koresponden tetap untuk media cetak yang terbit di Indonesia maupun di Hong Kong, sebagian lainnya lagi menjadi penulis lepas, dan ada juga yang, malahan, membuat media cetak (majalah) sendiri. Saya mengenal misalnya, Majalah Nur Muslimah yang diterbitkan secara swasembada oleh BMI-HK.

Adapun Bayu Insani, tulisannya telah tersebar di mana-mana, di HK dan di Indonesia, di koran, majalah, dan buku. Salah satu buku yang memuat tulisannya kuketahui berjudul Emak-emak Facebooker Mencari Cinta.

Suatu hari, ia berkirim pesan, bagaimana caranya mengirimkan tulisan ke Jawa Pos. Lalu kubalas dengan mengirimkan email editor Jawa Pos dan jika tulisan itu berupa tulisan seni/budaya, berupa kritik apreasiasi, resensi buku, cerpen, dan sebagainya, saya mohon langsung mengirimkan ke email yang secara khusus dibuat oleh Redaktur Budaya-nya, Arief Santosa. Bahkan segera pula saya susulkan nomor ponsel Arief, kawan saya yang sangat gampang bersahabat itu.

Keesokan harinya, Bayu mengirimkan kabar dengan nada girang bukan main, bahwa ia telah mengirimkan tulisannya ke Jawa Pos, dan bahkan sempat bercakap-cakap dengan Arief Santosa. Kabar gembira berikutnya, tentu saja, adalah: tulisan Bayu mengenai dunia penulisan/perbukuan di HK muncul di rubrik Di Balik Buku-nya Jawa Pos.

Kesan saya ketika pertama kali membaca tulisan Bayu, yang ia kirimkan melalu japri sebelum dimuat Jawa Pos, dan beberapa tulisan lainnya, adalah bahwa penulis yang satu ini sangat rapi dalam hal penulisan ejaan. Kalimat-kalimatnya jernih, menunjukkan kemantikan berpikirnya. Ia bahkan sudah hampir sepenuhnya sukses keluar dari kelemahan rata-rata penulis pemula di kalangan BMI-HK: kurang fokus pada topik yang digarap dan lemah dalam peng-angle-an.

Pada awal tahun 2000-an saya menjadi redaktur sebuah tabloid hiburan di Surabaya. Sebagian besar wartawannya adalah para post graduate, dari perguruan tinggi negri maupun swasta yang ada di Surabaya. Rata-rata tulisan mereka masih sangat payah untuk disebut sebagai tulisan yang enak dibaca. Untuk membuka sebuah berita pendek saja, biasanya mereka menulis kalimat-kalimat awal seperti mau membuat makalah. Pakai nyinyir mendefinisikan istilah segala. Mereka bakal KO di paragraf pertama kalau diadu dengan Bayu dan beberapa penulis di kalangan BMI-HK yang saya kenal.

Maka, kalau para post-graduate di awal 2000-an itu sekarang bertebaran di mana-mana, ada yang menjadi jurnalis tulen, ada yang menjadi penyair, dan ada pula yang sudah mencatatkan namanya di daftar papan atas sastrawan Indonesia mutakhir, tentu tidak akan berlebihan jika kita berharap, lima tahun ke depan nama Bayu Insani, Ida Raihan, dan kawan-kawannya itu akan dikenal publik pembaca di tanah air swebagai para penulis andal. Semoga. [Bonari Nabonenar, sesama penulis] 


FOTO: dari koleksi- Facebook Bayu Insani

0 urun rembug: