Tuesday 20 April 2010

Sepak Bola Itu Tidak Penting!

Saya tahu, tulisan ini dapat memancing kemarahan banyak pihak, instisusi maupun perorangan. Tetapi, bukankah dunia persepakbolaan kita adalah dunia yang nyaris penuh dengan kemarahan? Lagi, kemarahan tidak selalu buruk, bukan?

Saya menganggap sepak bola tidak penting. Tetapi, saya tahu, ribuan, jutaan, atau bahkan puluhan juta rakyat Indonesia selain saya menganggap sepakbola sedemikian penting. ’’Rakyat yang mengalami banyak tekanan, ekonomi, politik, sosial, memerlukan saluran untuk melepaskan emosinya. Di lapangan sepakbola kita bisa bersorak, berteriak, dan bahkan mengumpat semau kita tanpa khawatir dijerat pasal penghinaan atau pencemaran nama baik,’’ demikian ujar seorang kawan saya. Jika pernyataan kawan saya itu benar, jangan-jangan sepak bola itulah yang ikut pula menggilas kesenian tradisional macam ludruk yang biasanya tampil sebagai suara rakyat yang kritis terhadap lingkungan, masyarakat, dan bahkan pemerintah.

Tetapi, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa para birokrat, politisi, dan orang-orang dengan kedudukan tertentu sangat berkepentingan dengan sepakbola, terutama untuk merebut dan/atau mengukuhkan kedudukan mereka. Di sebuah kota, konon, seseorang harus membuktikan sukses mengetuai sebuah klub sepakbola untuk mendapatkan jalan lempang menuju jabatan walikota. Suara rakyat memang sangat berharga di dalam pemilu. Termasuk pemilukada. Olahraga apalagi yang memiliki massa sebanyak sepakbola?

Sepakbola adalah olahraga dengan dukungan massa yang begitu besar. Ironisnya, di negri ini, sepakbola ternyata tidak mampu mendapatkan cukup suntikan dana dari para sponsor, atau perusahaan-perusahaan yang sangat berkepentingan dengan massa yang sangat besar itu. Karenanya, dana pun perlu disuntikkan dari APBD atu bahkan APBN?

Negara tentu memiliki kepentingan untuk, meminjam slogan yang sangat popular di era Orde Baru, ’’Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat.’’ Pemerintah berkewajiban memenuhinya, dan di sinilah kiranya fungsi Kementerian Pemuda dan Olahraga menjadi penting. Tetapi, sekarang ini, di dalam dunia persepakbolaan, jangan-jangan kita hanya sedang: ’’Memasyarakatkan bonek dan membonekkan masyarakat!’’ Lihatlah, di sekitar persepakbolaan yang sedang kita bicarakan ini, berapa banyak kepala bocor terkena lemparan batu, berapa jiwa melayang karena terjatuh dari kereta api, dan sekian banyak kerepotan lain yang ditimbulkan oleh ulah negatif para pendukung kesebelasan.

Kementerian Pemuda dan Olahraga, tampaknya lebih sibuk memikirkan bagaimana mengirimkan atlet, petinju, kesebelasan, ke luar negri dan mengupayakan berbagai cara agar kembali ke tanahair dengan medali kemenangan, syukur-syukur medali emas. Dan olahraga pun menjadi tumpuan pertaruhan nama baik bangsa setelah kenyataan membuktikan bahwa prestasi bangsa ini jeblok di banyak hal, dari soal kesejahteraan warga, kemajuan teknologi, pendidikan, dan bahkan merah pula rapor kita di bidang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (dari korupsi) dan penegakan hukum.

Kompetisi olahraga antar siswa, antarmahasiswa, antarkampung, memang masih ada, tetapi seolah-olah itu diselenggarakan hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Maka, kita bisa bertanya, misalnya: Berapa rupiahkah yang dianggarkan Pemerintah untuk menggelar sepakbola galadesa? Kalau mau membuat masyarakat lebih sehat jasmani dan rohani melalui olahraga, sesungguhnyalah kompetisi atau agenda olahraga di kampung-kampung itu yang penting untuk lebih digalakkan. Pada gilirannya nanti, bibit-bibit unggul akan terjaring atau bermunculan dari situ.

Persepakbolaan kita juga menambah ironi pada dirinya dengan semakin bernafsu mendatangkan pemain asing. Lha, terus di manakah kebanggaan kita sebagai sebuah bangsa? Dan kita berbusa-busa berbicara tentang persepakbolaan nasional, padahal yang kita urusi adalah ’’persepakbolaan internasional’’! Kita mendatangkan orang asing dan memberi mereka fasilitas mewah serta gaji yang sangat besar agar bersemangat menyalurkan hobi bermain bola mereka di depan mata kita. Tahukah Anda, berapa gaji seorang pemain bola dari negri lain yang kita minta untuk bermain (-main) di negri ini? Dan untuk uang sebanyak itu, berapa jiwa anak negri ini yang mesti bertaruh nyawa di luar negri (sebagai buruh migran)?

Karena sebagian besar rakyat kita adalah orang-orang kalah, maka mereka menikmati sepakbola semata-mata sebagai pertaruhan kalah dan menang. Kalau kesebelasan kesayangan mereka menang, mereka mabuk kemenangan, dan untuk beberapa saat melupakan kekalahan sejati mereka dalam hidup keseharian. Jika kekalahan menimpa kesebelasan kesayangan mereka, rasa frustasi pun berakumulasi, dan sebegitu mudahnya menejelma amuk. Lalu, kita bisa saja hanya menuding kekalahan kesebelasan kesayangan mereka sebagai satu-satunya penyebab. Rakyat kita, tampaknya memang lebih memerlukan pertandingan sepakbola sebagai pelarian, dan bukannya menikmatinya sebagai sebuah rekreasi. Bagi sebagian besar penonton sepakbola kita, permainan baik atau buruk itu tidak penting. Bahkan, diam-diam banyak pula tampaknya yang berharap agar terjadi adu jotos di tengah lapangan.

Jangan-jangan kita semakin kedodoran justru karena menganggap sepakbola itu sedemikian pentingnya. Sedemikian pentingnya, sehingga orang-orang penting yang tak pernah kenal poncotane bal (sudut-nya bola) pun biasanya begitu bernafsunya untuk menjadi Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Maka, marilah menyugesti diri kita masing-masing dengan membisikkan ini, ’’Sepakbola itu tidak penting!’’ seperti tampaknya, saudara-saudara kita di Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, juga mengatakan hal yang sama. Dan tampaknya mereka hidup lebih bahagia dan sejahtera!* []

2 urun rembug:

Pertama membaca judul, saya sempak "makseng". Setelah membaca dan melihat perspektif anda. Mau tidak mau, saya harus setuju. Walaupun saya termasuk penggila bola. Tapi bila melihat kondisi persepak bolaan indonesia yang sedemikian memprihatinkan, mungkin saat ini kita sudah tidak ada essensinya memikirkan sepak bola secara "nggedabrus" ada hal-hal lain yang lebih utama untuk dipikirkan. Daripada uang dihamburkan untuk membiayai klub-klub yang jago bikin onar. Lebih baik digunakan untuk membiayai pos-pos lain yang lebih penting.

Tapi untungnya tim kesukaan saya tidak ngemis APBD atau APBN. Mandiri...

Nyuwun pangapunten menawi wonten engkang klentu...
Nuwun

Terima kasih Mas Gilang. Demikianlah kukira memang, sebaiknya.