Marilah terlebih dahulu kita sepakat bahwa memberikan contoh atau teladan adalah lebih baik daripada menyeru dengan kata-kata. Bisa jadi memang, ada saatnya kata-kata bisa cukup ampuh. Tetapi, kini udara kita sudah dipenuhi busa kata-kata. Disebut busa karena banyak yang kemudian kita ketahui hanya omong kosong belaka. Mereka yang kita sanjung-sanjung kepandaiannya pun tak malu-malu memanipulasi kata-kata. Bahkan, memertontonkan pokrol bambu di tempat-tempat terhormat.
Pertanyaannya kemudian adalah: mengapa rakyat? Rakyat yang mana pula? Terus terang, tulisan ini sengaja dibuat dalam momentum menjelang pilkada. Selain Kota Surabaya, beberapa kabupaten/kota di Jatim kini tengah sibuk mempersiapkan pesta demokrasi yang popular dengan sebutan pilkadal itu. Maka, anggap saja bahwa semua yang berhak menggunakan hak pilihnya nanti adalah rakyat.
Beberapa waktu lalu saya menulis di dinding Facebook saya begini, ’’Manusia Indonesia itu ada tiga: [1] mendapatkan kompor gas ratusan ribu harganya, [2] mendapatkan komputer Rp 15 jutaan, dan [3] mendapatkan mobil seharga Rp 1,3 milyar. Hore, saya manusia Indonesia nomor satu!’’
Para pejabat kita yang ada di Jakarta sana tampaknya memang tengah kemaruk-kemaruk-nya pamer: pokrol bambu dan keserakahan. Untuk mengetahui betapa trampilnya pejabat kita memanipulasi kata-kata, melebihi kawan-kawan saya yang penyair, kita hanya perlu nonton televisi. Mengenai keserakahan mereka, ingatlah, beberapa hari setelah diberi mobil mewah harga Rp 1,3 milyar/unit/orang, ramai pula berita mengenai rencana kenaikan gaji mereka.
"Gaji saya nggak masalah mau naik mau turun. Tapi kalau kita lihat komparatif dengan beban tugas atau dengan direktur perusahaan swasta itu jauh,’’ kata Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi seperti dikutip detik.com.
Coba, kalau rakyat yang beralasan seperti itu mesti pejabat akan segera menyergap, ’’Siapa suruh kau jadi pejabat? Jadilah direktur swasta!’’ Apakah mereka tidak pernah risau dengan jutaan rakyat yang menganggur, dan jutaan lainnya bekerja sangat keras tetapi hanya dapat gaji senilai sekali makan mereka? Bayangkanlah, ada manusia Indonesia yang ongkos sekali makannya bisa setara dengan (atau jangan-jangan malah lebih dari) nilai gaji sebulan seorang pekerja sangat keras? Artinya, ongkos sekali makan untuk satu orang kira-kira setara dengan ongkos hidup sekeluarga pekerja sangat keras itu? Begitu, kan, nalarnya?
Agak mundur lagi, rakyat juga sempat di-elus-elus dengan kata-kata ’’pendidikan gratis.’’ Ketika kemudian terbukti tidak gratis, pejabat pun berkilah, lha itu kan bahasa iklan. Pengertian gratis menurut pejabat, ternyata berbeda dengan yang dipahami rakyat. Nah, lalu kemakmuran dan kesejahteraan hidup macam apa yang dapat diangankan oleh segenap warga negara ini kalau pejabat dengan rakyatnya sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik seperti itu?
Apa hubungannya semua itu dengan pilkadal? Jika Anda bertanya begitu, mohon dijawab pertanyaan ini: Apakah pejabat dari jenis yang kemaruk harta dan hanya pinter bermain kata-kata yang kita inginkan menjadi pemimpin di wilayah kita? Saya pastikan, jawaban Anda: ’’Bukan!’’
Kita menginginkan pejabat yang amanah, jujur, cakap, tidak korup, lengkap dengan sifat-sifat yang baik lainnya. Jika Anda setuju demikian, marilah sekarang kita memarahi diri kita. Anggap ini sebagai ritual, sebagai lelaku, untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar kewahyon, dan bukan pemimpin karbitan.
Anda juga boleh segera memarahi saya, karena saya akan mengatakan bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya mengharapkan atau bahkan menuntut segala macam kebaikan dari pejabat-pejabat dan pemimpin kita, sedangkan kita sendiri dari awal prosesnya sudah tidak jujur. Kalau saya memakai istilah ’kita’ maka pengertiannya adalah rakyat sebagai kesatuan. Sehingga, setitik keburukan akan memberikan alasan untuk mengatakan bahwa kita buruk.
Ternyata si serakah itu bukan hanya para pejabat. Rakyat pun selama ini suka aji mumpung. Mumpung musim pilkadal, mumpung ada yang bisa dipalak, maka beramai-ramailah rakyat memalak para calon pemimpinnya. Urusan palak memalak inilah yang kemudian menggelinding sebagai money politic alias politik dhuwit.
Kita, rakyat, bukanlah kumpulan orang-orang bodoh. Tetapi, marilah kita berjamaah mengakui bahwa selama ini kita selalu silau dengan baliho, dengan umbul-umbul, dan gambar-gambar yang ditempel di pepohonan pinggir jalan itu. Bahkan, kita tidak ragu-ragu meminta sejumlah uang untuk memastikan siapa calon yang kita pilih. Kita menjual suara kita secara eceran dan kemudian menjualnya lagi dalam kemasan kelompok (per RT, per Dusun, per Desa, dan seterusnya). Bahkan, tentunya ada pula di antara kita masih tega menjual suara kepada lebih dari seorang calon.
Selain cara penjualan dengan uang kontan yang bisa dibagikan kepada setiap pemilih, ada lagi kemasan (suara) kelompok yang harganya dipatok dengan aspal seruas jalan atau sebuah jembatan.
Kita masih ingat bukan, dalam Pileg yang lalu, banyak berita tentang penarikan kembali semen, bahkan juga karpet musala oleh caleg yang gagal. Itu bukti cetha wela-wela bahwa praktik jual beli suara bukanlah isapan jempol, bukan? Dan hanya berselang bulan, kita berteriak-teriak bahwa wakil kita nggak mutu, ternyata lebih mewakili partai ketimbang konstituennya. Sebentar-sebentar kita juga turun ke jalan, mengolok-olok, bahkan menghujat para pejabat kita, seperti bagian awal tulisan ini.
Nah! Sekarang ketahuan. Agaknya kita benar-benar keblinger kalau kemudian mengolok-olok atau menghujat para pejabat. Lha wong kita bisa lebih runyam dibandingkan mereka kok, andaikata kita punya kesempatan! Dan lagi, bukankah kita sudah menjual suara kita? Maka, kalau kita mau disebut konsekuen, kita mestinya mengakui bahwa kita tidak lagi punya wakil di lembaga bernama Dewan Perwakilan Rakyat itu. Kita telah menjualnya seharga lima belas atau dua puluh ribu rupiah! Sesungguhnya kita sudah tidak lagi punya hak untuk menuntut, bahkan untuk didengar suara kita.
Jika kita menghendaki pejabat yang mau memerhatikan rakyatnya, pemimnpin yang mengayomi, yang amanah, cakap dan tidak korup, ya marilah bersama-sama memantang uang lima belas atau dua puluh ribu itu. Dan kita punya hak untuk berteriak atau bahkan melabrak jika kelak terbukti mereka serong. Soal pembangunan jalan atau jembatan, dan bahkan melindungi segenap warga negara dari segala macam mara bahaya, termasuk bahaya kelaparan, kemiskinan, maupun kebodohan, itulah tugas negara yang mesti dijalankan oleh pemerintah melalui tangan-tangan pejabat serta pemimpin kita. Pejabat dan pemimpin yang hanya kita titipi ’suara’ kita, bukannya yang telah membelinya dari kita.
Memberikan contoh yang baik kepada para pejabat dan pemimpin kita, mau? Sekarang inilah saatnya! [bonarine@yahoo.com]
0 urun rembug:
Post a Comment