Saturday, 3 April 2010

Menuju Kongres Bahasa Jawa V, Surabaya 2011

KSJ Tidak Menandingi KBJ


Tulisan ini akan lebih bersifat klarifikasi (dalam konteks pertentangan yang dikesankan antara Kongres Sastra Jawa –selanjutnya disingkat KSJ dengan Kongres Bahasa Jawa –selanjutnya disingkat KBJ) dan sekaligus menggarisbawahi salah satu usulan Kepala Balai Bahasa Jawa Yogyakarta, Tirto Suwondo, dalam tulisannya bertajuk, Kongres Bahasa Jawa V, (Jawa Pos, Minggu, 21 Maret 2010).


Pada butir ke-3 usulannya, Tirto antara lain menulis, ’’Di satu sisi KSJ memang dinilai positif. Tetapi pengalaman Semarang menunjukkan ada kesan KSJ diselenggarakan hanya untuk ’tandingan’ KBJ.’’

Sebagai salah seorang penggagas Kongres Sastra Jawa (KSJ) saya tidak sedang membantah bahwa KSJ, bagi sebagian orang terkesan sebagai asal menandingi KBJ. Kenyataannya, jangankan mereka yang mengamati perkembangan dua kegiatan itu dari kejauhan, para pengarang Sastra Jawa Modern pun, bahkan yang sejak awal mendukung dan ikut bersusah-payah merealisasikan keinginan menggelar KSJ, belakangan ada pula yang menganggap KSJ sebagai gerakan waton sulaya (asal konfrontatif dengan KBJ).

Sebagai agenda 5 tahunan, KBJ I digelar di Semarang 1991 pada era Gubernur Ismail, merupakan proyek pemerintah yang didukung tiga daerah: Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur.

Pada awalnya, KBJ memang disambut sebagai kabar baik, terutama oleh mereka yang menginginkan agar bahasa Jawa mendapatkan iklim yang lebih baik untuk tetap berada dan bahkan berkembang di tengah-tengah masyarakatnya. Tetapi, terutama sejak KBJ II (Batu, 1996), beberapa pengarang mulai menunjukkan sikap ketidakpuasan mereka terhadap penyelenggaraan KBJ. Esmiet, misalnya, melihat bahwa banyak sastrawan Jawa seharusnya mendapatkan undangan, tetapi ternyata tidak tampak di arena Kongres. Saya masih ingat, salah seorang penyair Jawa yang jadi ’’contoh kasus’’ saat itu ialah Budi Palopo. Ada dua versi mengenai ketidakhadiran Budi Palopo. Versi pertama mengatakan Panitia memang tidak mengundangnya, dan versi kedua mengatakan undangannya diserobot dan dimanfaatkan orang lain.

Ada juga rasan-rasan mengenai dominasi kaum akademisi, sehingga, kongres terkesan sebagai seminar akbar bin mewah. Saya masih ingat, betapa waktu itu ketika acara kongres sedang berlangsung, beberapa tokoh malah seolah membuat forum tandingan di dalam sebuah kamar. Bahkan, JS Sarmo yang datang dari Suriname sebagai wong jawa sekaligus akademisi pun memilih meninggalkan acara resmi pada salah satu sesi itu untuk ngobrol bersama: Suparto Brata, Esmiet, Tamsir AS, Bambang Sadono SY, D Zawawi Imron, Hasan Senthot.

Dari rasan-rasan para tokoh itulah antara lain kemudian berkembang pikiran-pikiran kritis terhadap KBJ yang salah satu di antaranya menemukan bentuknya pada KSJ. Kehadiran tokoh-tokoh, antara lain: Suparto Brata, N Sakdani Darmo Pamoedjo, Arswendo Atmowiloto, dan bahkan WS Rendra ketika itu, memberikan bobot tersendiri pada KSJ I yang digelar di Taman Budaya Surakarta, 6-7 Juli 2001. Hanya beberapa hari menjelang pelaksanaan KBJ III (Hotel Ambarukma, Yogyakarta) beberapa orang panitia dan peserta KSJ I baru mendapatkan undangan, itu pun melalui telepon. Itulah salah satu bentuk reaksi yang tampak, dari Panitia KBJ terhadap adanya KSJ. Sementara itu polemik di media cetak terus bergulir, dan semakin ramai menjelang KSJ II dan KBJ IV di (Semarang, September 2006). Jika KSJ I membuat beberapa orang mendapat undangan mendadak dari Panitia KBJ III, sebaliknya KSJ II membuat salah seorang aktivisnya (ndilalah adalah saya, Bon) justru dicekal oleh Panitia KBJ IV.

Masih dalam paragraf yang sama, Tirto menyatakan, ’’Terlepas benar atau tidak (maksudnya: KSJ asal menandingi KBJ, Bon), hal itu menjadi suatu keniscayaan karena saat itu mereka (para pengarang dan pencinta sastra Jawa) merasa "tidak diakomodasi" oleh KBJ.’’ --kemudian menutup paragrafnya dengan harapan, ’’Untuk itu perlu langkah nyata agar tak muncul kecenderungan dikotomis yang memecah-belah.’’

Banyak pihak salah pengertian terhadap istilah ’akomodasi’ itu. Pengertian yang slah itu ialah bahwa mengakomodasi pengarang sastra Jawa adalah semata-mata melibatkan mereka di dalam kepanitiaan, mengundangnya sebagai peserta, atau ditampilkan sebagai pemakalah di dalam KBJ. Lagi-lagi, bahkan ada pula pengarang sastra Jawa yang masih memiliki pengertian yang salah seperti itu. Padahal, persoalan sesungguhnya terletak pada terakomodasinya aspirasi yang dalam sejarah pelaksanaan KBJ yang sudah 4 kali itu belum pernah dibicarakan dari hati ke hati antara kubu-kubu yang dikesankan berseberangan tersebut. Kalaulah para aktivis KSJ dianggap sebagai anak-anak nakal, mereka yang layak dipandang sebagai orangtua yang bijak pun belum pernah memanggil mereka untuk dituturi atau dinasihati, atau bahkan kalau perlu dimarahi. Menjelang KBJ IV, Keliek Eswe sudah berusaha membangun dialog dan mencoba menawarkan beberapa hal yang diinginkan para aktivis KSJ, antara lain bagaimana bisa diterbitkan buku-buku karya sastra (Jawa) untuk dijadikan bahan pendukung pembelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah. Seorang kawan dari Yogyakarta pun sudah secara mendadak dan terburu-buru datang ke Surabaya kala itu, tetapi dialog pun, entah karena apa, gagal terlaksana.

Sampai digelarnya Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Pelestarian Sastra Daerah dan Bahasa Jawa Menyongsong KBJ V (Hotel Satelit Surabaya, 7 – 9 Oktober 2009) belum ada tanda-tanda akan terbangun dialog itu. Bahkan, saya pun tidak mendapatkan undangan untuk menghadiri acara tersebut, baik sebagai salah seorang penggagas KSJ maupun dalam kapasitas saya sebagai Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya.

Ketika saya memrotes melalui SMS, seorang kawan mewakili panitia meminta saya menyusul, tetapi saya tidak bisa datang karena saat itu telanjur bergerak ke kota lain. Melalui SMS pula beberapa saat kemudian ada kabar bahwa saya diangkat menjadi anggota Badan Pekerja KBJ V, dan saya tidak menyanggupinya. Kesimpulan sementara saya saat itu adalah, KBJ V pun masih didominasi pikiran yang keliru mengenai istilah ’akomodasi’ itu.

Tetapi, kemudian di dalam Kemah Budaya yang diselenggarakan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro di kawasan wisata Dander, 27 hingga 29 Oktober 2009, ada kabar dari Suparto Brata dan JFX Hoery bahwa pada saatnya nanti Panitia KBJ V akan mengadakan dialog dengan berbagai pihak, termasuk dengan para pendukung KSJ.

Semoga saja dialog itu dapat terlaksana, sehingga kalaulah masih-masing pihak tetap akan berbeda pendapat pun, setidaknya bisa saling memahami dan tidak harus berbenturan karena perbedaan itu. (Bonari Nabonenar, salah seorang penggagas KSJ)

Jawa Pos, Minggu, 4 April 2010

0 urun rembug: