Wednesday 18 November 2009

Angka dan Badai

Oleh : Bonari Nabonenar

Tiga, empat: tujuh! Itu bukan nama angka keramat, tentu. Juga bukan kandidat untuk keluar sebagai nomor toto gelap. Itu hanya hasil utik-utikku secara iseng. Iseng banget. Bukankah anak kecil yang masih cedal pun tahu kalau tiga ditambah empat sama dengan tujuh? Aku sendiri juga tidak tahu, mengapa tiba-tiba aku tertarik untuk iseng dengan deretan angka. Padahal, biasanya aku selalu pasang muka masam setiap berpapasan dengan angka-angka. Mereka sering menipu, setahuku, atau paling tidak demikianlah citra mereka (para angka) di benakku. Mereka kadang juga terlalu sok. Sok apa sajalah! Di perpustakaan sekolah, aku selalu mengindari buku-buku yang sarat dengan angka. Maka jangan heran kalau guru yang sering kudoakan agar tidak bisa hadir di sekolah adalah guru matematika. Oh, ya! Aku mulai benar-benar benci angka-angka sejak sekolah menengah pertama. Ketika masih di bangku sekolah dasar, aku tergolong jago berhitung (saat itu belum popular istilah matematika). Satu-satunya mata pelajaran yang nilaiku sukses diungguli kawan lain sekelasku adalah kesenian! Lah, suaraku memang jelek, nafasku juga cekak. Dan kalau menyanyi suka terseret ke dalam nada-nada yang tak jelas jenis kelaminnya, nilainya, rasanya!


Tapi, aku punya teman yang suka membuatku pusing tujuh keliling dengan cerita-ceritanya. Namanya Budi. Bukan Budi kakak Iwan. Bukan Budi adik Wati. Tetapi Budiman Ariadi (bernama begitu karena ia diharap jadi orang baik budi dan selalu ingat bahwa ia lahir di hari yang sangat berkesan: Idul Fitri!)

Lhadalah! Budi pun, kemudian, malah suka menggodaku karena ia tahu jika cerita-ceritanya selalu memusingkanku. Tetapi, ia masih tergolong lumayan baik budinya karena tak pernah tega membiarkanku jatuh terpingsan-pingsan, dengan menghentikan ceritanya begitu melihat wajahku tegang bagaikan perawan kebelet pipis tak ketulungan.

Budi suka bercerita dengan menjejalkan sekian banyak angka ke dalam kalimat-kalimatnya. Ia memang pandai bercerita. Orang selain aku akan betah berlama-lama mendengarkan cerita Budi. Hanya aku saja yang tak betah berlama-lama, tampaknya!

Tanyalah Budi, misalnya, dengan kalimat ini, ’’Apa yang kau ketahui tentang Ines?’’ Maka, jika tensinya lagi bagus, Budi akan nyerocos berkisah tentang Ines yang mantan pacarnya itu. Kira-kira begini:

’’Ines memang cantik. Cerdas pula. Ia anak pertama keluarga Abdul Hamid dan Arimbi Risangayu. Ia mantan pacarku. Aku jatuh cinta kepadanya pada tanggal sepuluh bulan delapan tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh tujuh, pas kurs dolar melonjak dari tiga ribu ke delapan ribu rupiah! Bayangkan, lonjakan setinggi itu! Orang bisa mati berdiri! Dan Presiden yang terkenal sakti pun terjengkang dengan lonjakan semacam itu! Tetapi Inez memang tidak sekadar sakti. Ia cantik sampai di hati, dan aku pun tertunduk dan memasrahkan diri ke haribaan kecantikannya itu. Ines tentulah akan telah jadi istriku kini, andai orang tuaku dan orang tuanya tidak menentang kehendak kami, hanya gara-gara angka dua puluh lima, yang didapat dengan mengutak-atik hari kelahiranku dan hari kelahiran Ines! Aku hampir bunuh diri karena putus asa. Ines pun jadi ngenes. Berat badannya menurun drastic, dari lima puluh satu kilogram ke empat puluh lima. Tetapi, itu yang membuatnya diterima masuk sekolah modeling yang paling bergengsi di kota kami tanpa tes. Dan aku pun bangkit dari keputusasaan dengan gaya orang bangun tidur setelah melewati mimpi buruk yang sangat menakutkan. Pagi terasa indah. Dan itulah saat paling mengesankan, ketika aku mulai bisa menerima kegagalan cinta, gagal menyunting perempuan yang sudah tiga ratus kali kuajak nonton bersama, dua ribu seratus lima belas kali kukecup bibirnya, dan….’’

’’Oh! Maaf! Aku mau semaput!’’

Maka, pingsanlah aku! Angka-angka itu telah menyeretku ke dalam arus deras yang memusar ke dalam lubang tanpa dasar. Dan aku telah jadi orang tanpa sadar.

Lhadalah! Dua lima! Dua puluh lima! Bukankah jadinya tujuh juga: dua ditambah lima, seperti halnya tiga ditambah empat juga sama dengan tujuh? Dua puluh lima saja pun, tanpa deretan angka lainnya telah sukses menghabisiku. Apalagi jika ditambahi angka-angka lain. Seperti temanku yang lain lagi, Pawestri, yang gemar sekali menyebut angka-angka, mengulanginya, meralatnya, dan menyebut ulang lagi, dan seterusnya, seolah satu angka menjadi gosip yang bisa tak karuan ujung-pangkalnya jika ia bersama Pawestri.

’’Aku menyimpan ratusan kartu telepon di rumah (maksudnya voucher bekas isi ulang, pengarang) yang nilainya telah kukirimkan ke cowokku,’’ kata Pawestri suatu sore, dan pada sore yang sama di dua hari berikutnya, ia telah dengan yakin mengatakan ini, ’’Oh, tadi aku telah menghitungnya dengan teliti, dan ternyata kartu telepon itu ada seratus dua puluh tiga. Biarlah itu kusimpan sebagai kenang-kenangan, bisa kupandang-pandang ketika hatiku geram digerus dendam.’’

’’Dan kau akan mengirimkan berapa banyak voucher isi ulang untuk pacar barumu yang sekarang ini, Tri!’’ tanyaku bercanda.

’’Untuk Mas Soleh?’’

’’Loh, emang berapa biji pacarmu sekarang?’’

’’Yang gelap apa yang terang?’’

’’Yang remang-remang! Uh, dasar!’’

’’Loh, orang bertanya kok sewot. Kebalik, tahu enggak? Aku yang pantas sewot saja malah cengengesan lah kok situ yang sewot!’’

’’Hm. Iyalah. Kau memang pinter berkelit. Maaf, mungkin karena kesehatanku lagi kurang baik, sebab akhir-akhir ini aku sering pingsan. Jadi emosiku pun labil. Bisakah kau menjawab pertanyaanku tanpa menyebutkan angka?’’

’’Ya, perbaiki dulu pertanyaanmu, loh!’’

’’Pertanyaanku sudah baik. Tapi, aku sendiri juga heran, mengapa aku gampang pingsan ketika berhadapan dengan angka-angka.’’

’’Oh, apa kau punya pengalaman buruk, misalnya nyaris atau bahkan pernah diperkosa Guru Matematika!’’

’’Ya pastilah! Setiap berdiri di muka kelas, Guru Matematika itu memerkosaku. Memaksa menjejalkan angka-angka ke dalam otakku yang tak lagi berani menjerit apalagi meronta!’’

’’Oh. Barangkali aku bisa mencobakan sebuah resep….!’’

’’Resep apa?’’

’’Biar kau tidak lagi alergi dengan angka-angka. Tidak sakit karena mereka, apalagi pingsan sia-sia! Kau boleh pingsan saat melihat Anjas Asmara bertelanjang bulat di keramaian menjelang bulan Puasa, tetapi jangan hanya karena angka-angka.’’

Maka, berceritalah Pawestri kepadaku, tentang seorang teman kami yang lain lagi, yang bernama Anjani, yang suka bermain-main dengan Permata Cermin Seribu Galaksi, yang beberapa hari lalu memeriahkan hari kelahirannya dengan pesta rujak cingur dan sayur lodeh sambal terasi dipadu nasi punel dan bakar gurami disantap beramai-ramai di sebuah taman di seberang pantai, lalu ada yang menari dan menyanyi-nyanyi meriah sekali!

’’Anjani telah melewati tahun ketigapuluh empat. Jangan tegang! Tiga puluh empat, itu mengandung angka tiga, nol –yang tidak dutuliskan, dan empat. Kosong itu disebut juga nol, karena wajahnya bulat. Nah, bayangkanlah sebuah bulatan berada di tengah-tengah pertigaan. Maksudnya simpang tiga. Biasanya orang tak perlu pusing ketika menentukan akan menempuh jalan yang mana saat berada di persimpangan (simpang dua, pengarang). Sebab simpang dua itu wataknya tegas, kontras! Tetapi simpang tiga mulai bias. Dan simpang empat, lebih bias lagi, karena ia tak selalu searah dengan mata angin. Maka berpikirlah kau tentang tiga, tentang empat, tentang kosong! Sebab kau tak boleh terus menerus dibuat pingsan. Kau mesti melawan! Maka, sekali lagi, berpikirlah tentang tiga, tentang empat, sebelum sampai pada hasil penjumlahan dari keduanya: tujuh. Dan pada saat yang tepat, kau akan tahu: tujuanku, tujuanmu, tujuan kita. Sebab jika kita berjalan tanpa menyadari tujuan kita, tak ubahnya kita hanya berputar-putar di tempat seperti orang-orang orang-orang berjalan atau berlari mengelilingi alun-alun kota.’’

Tiba-tiba Gedung Perpustakaan di seberang itu tercabut dari tanah, membubung tinggi, meliuk-liuk, dan badai sangat besar mempermainkannya, menghamburkan buku-buku, meja, kursi, komputer, dan langit pun mendadak gelap: hujan angka!

’’Lihatlah, betapa indahnya!’’ seru Pawestri. ’’Dan tahukah kau, sekian banyak kata itu jika kita sempat menjumlahkannya, akhirnya ketemu juga: tujuh!’’ Pawestri berteori.

Setelah itu aku tak mendengar kata-kata lagi.

Trenggalek, Okt 2009

Surabaya Post, Minggu, 8 Nopember 2009

0 urun rembug: