Thursday 26 November 2009

Karena Hidup Bukan Sinetron

Seorang gadis terlunta-lunta, menjalani hidup dengan beban penderitaan nyaris melewati batas yang mampu ditanggung seorang manusia. Kemiskinan, kekejaman ayah atau ibu tiri, dan perlakuan negatif kawan sebayanya mengisi hari-harinya. Tetapi, seperti lazimnya dongeng, pada akhirnya datanglah pertolongan, melalui tangan peri baik hati atau seekor katak penjelmaan pangeran tampan. Kisah pun diakhiri dengan peristiwa terbebasnya sang gadis dari segenap penderitaannya, memasuki dunia baru yang penuh dengan sukacita, termasuk di antaranya pernikahan sang gadis dengan pangeran tampan itu.

Tetapi, bagian ’sukacita’ itu, namanya juga akhir cerita, atau ending, biasanya hanya menempati beberapa paragraf atau sehalaman dua halaman dari sebuah buku yang tebal. Dengan menghentikan kisahnya, sang pendongeng sesungguhnya ingin mengabadikan momentum ’sukacita’ itu. Sayangnya, kehidupan ini sendiri tidak bisa diperlakukan seperti itu. Kehidupan mesti berjalan terus, sampai batas waktu yang tan kinayangapa alias tak terjangkau akal manusia.

Maka, berkaitan dengan lakon besar dan paling menghebohkan dalam kehidupan bernegara kita belakangan ini –maaf jika di sini terpaksa digunakan istilah yang sesungghuhnya sudah dianjurkan untuk dilupakan: Cicak vs Buaya, kita mesti bersiap-siap untuk menerima sejenis kekecewaan, apa pun ujung kisahnya nanti.

Lakon Cicak vs Buaya memang layak disebut sebagai lakon besar bukan hanya karena ia menyangkut tokoh-tokoh besar di negri ini, melainkan juga hebat dramaturginya. Kualitas maupun kuantitas tokoh-tokohnya, alur yang sarat suspense, dan segala hal yang dibutuhkan untuk terpenuhinya syarat sebagai sebuah lakon besar ada padanya. Juga, jika kita menggunakan parameter yang sederhana: gelak tawa dan linangan airmata, kehormatan dan kehinaan, termasuk keterlibatan urusan: harta, tahta, wanita.

Seorang kawan malah berani mengatakan bahwa lakon besar kita kali ini dapat saja mengarah ke sebuah puputan, perang besar yang berakhir dengan sampyuh: mereka yang berhadap-hadapan atau kedua belah pihak sama-sama ’mati’ (tidak dalam pengertian harfiah). Kalau ada yang dapat disebut sebagai pemenang, boleh jadi ia atau mereka berada di pihak ketiga, keempat, dan seterusnya. Atau, jangan-jangan pihak lain itu pun (terkhusus: rakyat banyak) harus ikut menerima kekalahan pula. Dan itulah ending yang negatif (sad ending) yang tentu lebih dari sekadar mengecewakan.

Nah, bagaimana halnya jika yang terjadi kemudian adalah happy ending? Tadi sudah disinggung bahwa apa pun ujung kisah ini, karena ini terjadi di dalam kenyataan faktual atau di dalam kehidupan nyata dunia manusia, tetap saja ia berpotensi mengecewakan.

Adalah sebuah perang besar dalam kisah Mahabarata, Perang Baratayuda namanya. Perang besar yang dimulai dari meja judi itu menghadapkan dua kerajaan besar: Kerajaan Astina dengan Kerajaan Amarta, yang sebenarnya masih sedarah (sama-sama keturunan Barata). Dua wayang bersaudara kandung pun harus berhadap-hadapan dalam perang tersebut, yakni Raden Arjuna dengan Prabu Karna, berakhir dengan kematian sang kakak: Karna. Baratayuda juga disebut-sebut sebagai peperangan antara kejahatan (diwakili pihak Astina) dengan kebaikan (Amarta). Baratayuda adalah salah satu contoh kisah happy ending. Setelah mengalahkan musuh-musuhnya, Raden Wrekudara atau Sang Bima pun tayungan (menari, mengekspresikan kegembiraannya): kemenangan dan kesenangan yang sempurna? Bertanyalah kepada mereka yang kehilangan saudara, anak, dan suami. Bahkan, kejayaan Negri Amarta seusai Baratayuda adalah kejayaan yang sepi.

Beratus tahun para pendahulu kita berperang melawan penjajah, dan kemenangan pun didapat: kemerdekaan. Tetapi, kemerdekaan itu bukanlah akhir. Bahkan, ternyata hanya sebuah ’jembatan’ menuju cita-cita: adil, makmur, sejahtera. Dan mereka yang merasa tak kunjung mendapatkan kesejahteraan suka berkelakar untuk melepaskan kegetiran dengan kalimat begini, ’’Mending dijajah Belanda!’’ Lho, lho!

Ada lagi peristiwa tumbangnya Rezim Orde Lama yang kemudian digantikan Rezim Baru. Korban jiwa tak terbilang. Itu kisah happy ending juga bukan? Ah, andaikata seperti kisah rekaan dan hanya berhenti sampai di situ! Sayangnya, kita tidak bisa mengabadikan kemenangan Rezim Orde Baru seperti para kawi menamatkan ceritanya, seperti pengarang mengakhiri novelnya. Juga, ketika Rezim Orde Baru pun pada akhirnya tumbang (1998) menandai dimulainya era baru yang disebut sebagai Era Reformasi.

Setelah perjuangan yang lama dan memakan banyak korban, kemenangan seperti hanya didapat sepanjang tepuk tangan mengiringi akhir sebuah pertunjukan. Setelah itu, kita dipaksa mengingat mitos Sisipus yang dipercanggih oleh Albert Camus itu. Kenyataannya, kita pun seperti harus mendorong batu ke puncak gunung hingga batu itu menggelundung kembali ke lembah dan harus melakukannya kembali, berulang-ulang, sampai mati!

Sebagai bangsa kita telah mengoleksi cukup banyak kemenangan spektakuler, tetapi hampir selalu gagal merawat kemenangan itu dengan baik. Itulah intinya, atau kita hanya mau pasrah sebagai Sisipus, hanya menikmati sukacita atas kemenangan demi kemenangan sepanjang tepuk tangan seusai pertunjukan, sepanjang satu atau dua paragraf, atau sehalaman dua halaman dari buku yang tebal. Padahal, hidup ini bukan sinetron atau novel, kawan! [bn]

0 urun rembug: