Saturday 3 October 2009

Harapan Baru Seniman Jatim

Terjawab sudah pertanyaan: ’’Akankah Gubernur Jawa Timur yang baru, Pak De Karwo, melanjutkan tradisi silaturahmi dengan seniman, yang biasanya dilakukan menjelang Hari Raya Idul Fitri oleh pendahulunya, Imam Utomo.’’ Sejumlah 300 seniman menerima tali asih, 9 September 2009 di Graha Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jatim Jl Wisata Menanggal Surabaya, dalam rangkaian acara Silaturahmi Gubernur dengan Seniman itu. Saya ikut menerima taliasih itu, bahkan beruntung dipilih di antara teman-teman yang berkesempatan mewakili seniman, dan berkesempatan langsung menerimanya dari Pak De Karwo. Ada hal baru dan ada pula yang hilang dalam tradisi tahunan ini.

Yang hilang, tampaknya adalah pemberian penghargaan bagi 10 orang seniman terpilih (dengan nominal hadiah uang masing-masing Rp 10 juta). Atau, penghargaan itu akan diberikan nanti dalam rangkaian acara Hari jadi Jawa Timur? Sebenarnya, taliasih itu dapat pula dipandang sebagai penghargaan. Tetapi, karena biasanya ada yang lebih dari itu, tetaplah ada yang terasa hilang. Panitia tampaknya juga tidak sempat merilis berita mengenai perubahan besar tersebut. Salah satu kibatnya, salah seorang kawan yang terpilih di antara 10 orang seniman penerima langsung taliasih dari Gubernur itu segera menelepon saya setibanya di rumah. ’’Eh, ternyata kita tadi hanya menerima taliasih biasa ya?’’ Ndilalah memang, seniman yang menerima taliasih secara simbolik, meminjam istilah Panitia, jumlahnya 10 orang pula, mewakili bidang: musik, rupa, teater, tari, sastra, seperti jumlah penerima penghargaan Rp 10 juta tahun-tahun sebelumnya.

’’Lha rak bener ta? Kalau mau diberi penghargaan yang Rp 10 jutaan itu kan tidak ditunjuk langsung pada hari pelaksanaan seperti itu? Mesti ada proses pendataan, nominasi, dan pemilihan oleh tim juri,’’ jawab saya.

Acara protokolernya pun agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Setahu saya, dalam tradisi sebelumnya, ada panitia khusus dan tim juri yang dibentuk untuk menentukan siapa seniman Jatim yang akan mendapatkan penghargaan dan siapa saja yang akan diundang untuk menerima taliasih. Lalu, pada acara pelaksanaannya, Ketua Panitia ini menyampaikan pidato laporan di hadapan Gubernur dan segenap udangan. Kali ini, Laporan Ketua Panitia itu tidak ada. Belum jelas, apakah jadwalnya memang seperti itu, hanya ada sambutan dari wakil seniman, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jatim, disusul Sambutan Gubernur setelah selingan musik, ataukah terlupakan seperti halnya Sidang Paripurna DPR yang tanpa Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Saya malah baru membaca Sambutan Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur melalui Facebook sepulang saya dari acara tersebut.

Kali ini yang memberikan sambutan pertama adalah seniman ludruk Agus Kuprit sebagai wakil dari seniman penerima taliasih, yang kemudian diikuti para pelawak: Bambang Gentolet, Kancil Sutikno, Kenthus, dan Eko Kucing. Mereka menyegarkan suasana, tetapi kemudian terasa terlalu banyak mengulang-ulang kalimat bahwa taliasih ini sangat membantu (perekonomian) seniman dan berharap tradisi ini dilanjutkan pada tahun-tahun yang akan datang. Terekesan nyinyir. Kenyinyiran itu kemudian seperti tumbu entuk tutup ketika ’Panitia’ melalui pembawa acara menyebut acara pemberian taliasih ini sebagai ’’Program Pemberdayaan Seniman.’’ Secara maknawi, memang tak salah bahwa semua itu memberdayakan seniman. Tetapi, ketika mendengar istilah ’pemberdayaan’ dalam konteks pemberian taliasih itu kok telinga jadi agak risi ya? Memang, program ini adalah bukti kebagikan Gubernur, kebaikan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, yang sulit ditemukan di daerah lain. Bahkan, imbauan Gubernur Imam Utomo pada tahun-tahun sebelumnya agar tradisi Pemerintah Provinsi ini diikuti dengan program serupa di tingkat kabupaten/kota (mengingat yang diakomodasi Pemprov baru 300-an seniman) tampaknya juga ditanggapi sepi.

Sekadar mengingatkan, di balik kegembiraan 300 orang seniman penerima taliasih itu sebenarnya ada hal yang mengganjal, dan sayangnya tidak sempat disampaikan Agus Kuprit dan kawan-kawan itu, yakni: tergencetnya akses seniman Jatim terhadap ruang ekspresi bernama Taman Budaya Jawa Timur yang akibat PP 41 kini lebih diperuntukkan bagi kegiatan seni (pendidikan) para siswa, guru, dan sejenisnya. Kita jadi bertanya-tanya, misalnya: apakah Festival Cak Durasim masih akan berkesinambungan, apakah Pemerinbtah Provinsi Jawa Timur sudah memikirkan untuk membangunkan ruang ekspresi yang layak bagi senimannya. Bahkan, Festival Seni Surabaya pun mulai absen. Keprihatinan ini tak hanya lupa dilontarkan Agus Kuprit dkk, bahkan tidak tertera pula pada Sambutan Ketua Dewan Kesenian Jatim versi Facebook itu.

Sama-sama terkena dampak PP 41 mestinya, tetapi belakangan ini saya beberapa kali mengunjungi Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta (dulu: Taman Budaya Surakarta), dan melihat masih padatnya jadwal acara kesenian seperti: Temu Penyair 7 Kota, Mengenang Rendra, Pentas Teater (bukan teater pelajar), dan lain-lain. Di wilayah pengembangan wacana, di Solo juga belum lama ini dibuka Balai Soedjatmoko, yang agendanya juga padat. Jawa Timur masih mengandalkan Galeri Surabaya yang tampaknya kini lebih banyak diisi pameran seni rupa. Dulu ada lembaga Kajian Budaya Jawa Pos, sayangnya tak tahan lama.

Kesimpulannya, Jatim boleh bangga dengan tradisi pemberian taliasih bagi seniman itu, dengan pertanyaan: mengapa kali ini mulai minus ’penghargaan sepuluh jutaan-nya, dan bersedih karena masih saja miskin ruang ekspresi dan pengembangan wacana (diskusi publik).

Diajak Bicara
Di balik keprihatinan itu menyeruak harapan baru tatkala Gubernur Jawa Timur Dr H Soekarwo alias Pak De Karwo melontarkan gagasanya untuk memberi seniman Jatim asuransi kesehatan. Saya kira itu mesti dilihat sebagai bentuk apresiasi pemerintah terhadap seniman. Apalagi jika dana asuransi itu dapat dicantolkan di APBD, dan bukannya diminta-mintakan dari perusahaan (Corporate Social Responsibilty) seperti dinyatakan kepada salah satu media oleh Ir Hadi Pasetyo, ME, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Propinsi Jawa Timur. Tentulah harapan seperti itu tidak akan berlebihan jika benar seniman dipahami sebagai penjaga nilai pada identitas dalam berbangsa dan bernegara. Disantuni oleh negara tentu lebih membanggakan daripada disantuni perusahaan, apalagi oleh perusahaan asing. Atau bahkan negara lain!

Yang tak kalah menariknya adalah perintah Gubernur kepada Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata agar seniman diajak bicara. ’’Ini perintah, bukan imbauan, agar para seniman diajak bicara,’’ tandas Pak De Karwo. Yang dimaksudkan tentu adalah pembicaraan-pembicaraan yang berkait dengan kebijakan di bidang kesenian/kebudayaan.

Pandangan pemerintah akan pentingnya mengajak bicara para seniman, secara personal/institusional tentulahm menggembirakan. Jika instansi terkait merasa selama ini sudah melibatkan seniman dalam pembicaraan-pembicaraan, ’perintah’ Gubernur itu mesti dimaknai agar kualitas pembicaraan itu ditingkatkan. Jangankan di tingkat daerah, pada tataran nasional pun komunikasi seniman dengan pemerintah tampak cukup buruk. Lihatlah, ketika terjadi persoalan dengan negara jiran menyangkut karya seni kita, Pemerintah terkesan gagap mereaksi, dan masyarakat, termasuk seniman bereaksi dengan berbagai cara yang kadang malah saling bertabrakan.

Saya punya pengalaman cukup menarik ketika jadi pengurus harian (Komite Sastra) Dewan Kesenian Jawa Timur. Selama hampir 5 tahun itu seingat saya baru sekali-dua kali ada institusi pemerintah yang mengundang Pengurus Dewan Kesenian berdialog untuk merumuskan kebijakan. Sama-sama memiliki label ’Dewan’ pun, jangankan diundang, Dewan Kesenian Jatim harus mengirimkan permohonan dan menunggu sampai dikabulkan agar dapat berbicara di hadapan anggota DPRD Jatim.

Yang agak lucu lagi, suatu hari Dewan Kesenian Jatim mengirimkan permohonan untuk menghadap dan berbicara di hadapan seorang kepala Dinas. Permohonan itu dikabulkan, dan berbondong-bondonglah Ketua Dewan kesenian Jatim beserta segenap pengurus hariannya. Acara dimulai, dan kalau saya taksir, kira-kira perbandingan porsi berbicaranya adalah: 5 % untuk Dewan Kesenian Jawa Timur dan 95 % untuk Sang Kepala Dinas. Jadi, isi surat permohonannya adalah agar dapat berbicara, mengajukan usulan-usulan untuk diprogramkan, dan yang terjadi kemudian malah lebih banyak jadi pendengar. Itu pada kepengurusan Dewan Kesenian Jawa Timur periode yang telah lewat. Semoga yang sekarang tidak separah itu. Begitulah harapannya. []

2 urun rembug:

Nuwun sesu kakang mas bonari,kulo nuwun kawulo nderek pitepangan mugi katampi kanthi suko renane panggaleh,kawulo atetenger wong goblog kang manggen wonten ing padepok an wonggobloggo.Blogspot.Com

mbok menawi wonten keparengipun koko prabu bonari mbok bilih wonten kalodangan wekdal mugi kerso pinanggih kalian kawulo,kawule ngeh madepok ing tlatah trenggalek

matur suwun
sugeng pitepangan