Wednesday 14 October 2009

Asu Animalenium

Bonari Nabonenar

Tak urung Antini terkejut juga ketika suaminya mengatakan bahwa dia benar-benar akan berangkat ke luar negeri. Padahal sebenarnya sudah sejak dua tahun lalu berkali-kali suaminya mengatakan keinginannya itu. Benar-benar ngewuhake. Betapa akan bangganya dia nanti saat suaminya berhasil mendapatkan gelar doktor dari universitas terkenal di luar negeri, dalam usianya yang begitu muda. Tetapi betapa pula beratnya beban yang harus mereka sandang ketika harus dipisahkan jarak yang tak terkirakan jauhnya, untuk jangka waktu sekian lama nanti? Mungkin saja suami Antini sendiri tak akan merasakan hal itu sebagai masalah besar, sebab kegilaannya pada studi yang ditekuninya selama ini seperti menenggelamkan yang lain-lain.


Tetapi akhirnya Antini merelakan juga, dan bahkan memberikan dukungan dengan caranya sendiri untuk keberangkatan suaminya ke negeri seberang. Dia sudah tiga kali menemui Mbah Ndemo.

"Iya, lho, Jeng. Pagar itu perlu. Untuk keselamatan kita semua," kata Bu Dewi, ketika pertama kali menyarankan kepada Antini untuk pergi ke orang pintar. Untuk meminta "pagar" buat suaminya yang akan dilepas ke tempat yang jauh itu.

"Tapi kita harus memagari diri juga, lho. Dengan begitu pertahanan dan keamanan kita semakin kokoh, dan kita tidak perlu khawatir oleh ancaman terhadap persatuan dan kesatuan kita, terhadap keutuhan rumah tangga kita. Dengan demikian kita tidak perlu lagi mengkhawatirkan bahaya disintegrasi itu." Begitu ceramah Bi Ida yang penyiar radio itu dengan gaya dibuat-buat, bagaikan seorang orator kehujanan.

"Mas, apa sampeyan nanti tidak kesepian?" tanya Antini sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang suaminya.

"Jangan khawatir. Aku akan punya banyak tugas dan pekerjaan yang akan sangat ampuh untuk membunuh kesepian itu."

"Alaaaaa…….seperti enggak tahu aja! Biasanya sampeyan kalau sedang banyak tugas, sedang sibuk, tegangannya malah makin tinggi saja!"

"Szzhxhpmmmffzh…." Mereka berciuman. Dan Dodi, suami Antini itu, kini benar-benar telah terpancing. Dibopongnya isterinya, dibawanya masuk ke kamar dan direbahkan di atas ranjang. Melihat isterinya telentang, Dodi seperti kesurupan. Mulailah dia menari. Lebih tepatnya, mereka. Mereka menari. Bagaikan dewa-dewi. Menari-nari, dalam irama surgawi. Begitulah biasanya. Maksudnya, kebiasaan mereka. Pembicaraan selalu putus, terpotong di tengah ranjang.

Bagi mereka adalah omong kosong bahwa persoalan suami-isteri akan selesai di atas ranjang. Untuk persoalan "itu" memang ya. Tetapi yang lain-lain tidak.

"Mas?"

"Hm…."

"Nah, kan….?"

"Apa?"

"Sampeyan kok bilang mau mengatasi kesepian. Dengan kesibukan, dengan ….gombale mukiya!"

"Sudahlah. Jangan khawatir. Kita, kan ada komputer. Nanti kita pasang internet. Sebelum berangkat, aku akan mengurusnya ke ISP. Dengan internet kita akan dapat bertemu setiap saat. Jangan lagi khawatirkan kesepian itu."

Maka Dodi pun berangkat ke negeri seberang. Dan isterinya, Antini, tetap tinggal di perumahan Asri Estat bersama putrinya yang masih balita, dengan seorang emban, batur, babu, pembantu rumah tangga, atau apalah namanya, wanita 50-an tahun yang biasa dipanggil Mbok Nem.

Mula-mula Antini hanya menggunakan fasilitas IRC di internet itu, untuk ngobrol dengan suaminya, menumpahkan kerinduan, dan lebih-lebih untuk memastikan bahwa pada waktu-waktu luang suaminya tidak ke mana-mana. Tetapi kemudian Antini dapat kenalan baru, dapat lagi kenalan baru, dapat lagi, dapat lagi. Ada yang dari benua lain, ada yang dari negeri tetangga, tapi banyak pula yang tinggal sekota dengan Antini.

Mereka, para kenalan baru Antini itu, adalah orang-orang kesepian. Ada yang mengaku masih perjaka, ada yang mengaku duda, dan bahkan ada pula yang mengaku punya isteri tetapi tanpa tedeng aling-aling mengemukakan niyatnya untuk mencari pasangan selingkuh! Dari para kenalan baru itu Antini makin banyak tahu dan makin dapat mengoptimalkan fungsi internetnya. Antini bahkan kini telah memiliki home-page sendiri, memiliki lebih dari 5 buah e-mail. Antini tahu sekarang, bahwa internet ternyata lebih ajaib dan lebih sakti daripada Cupu Manik Astagina, yang konon dapat digunakan untuk menerawang dunia, dan bahkan untuk memanggil para dewa, tetapi yang kemudian membuat Anjani bersaudara berubah ujud jadi kera itu.

Semakin hari Antini semakin asyik dengan dunianya yang baru. Bersama internetnya, tak siang tak malam, dia akan menjelajahi dunia maya. Dunia tanpa batas. Sekarang, jika suaminya beralasan sibuk dan tak dapat menemaninya chating, Antini akan lebih senang. Sungguh, benar-benar sakti, internet itu. Hanya dalam hitungan bulan, belum genap 5 bulan, Antini telah berubah menjadi lain. Lain sekali. Beda sekali dengan Antini yang Nyonya Dodi 5 bulan lalu. Jika paling banter kemarin-kemarin Antini hanya kenal olah raga tenis, kini bermain golf-pun tak lagi canggung, dia!

Tengah malam dia kirim e-mail ke suaminya, mengatakan bahwa keesokan harinya akan menjenguk orang tuanya di Trenggalek sana, tetapi pagi-pagi sekali dia justru berangkat ke bandara. Seorang lelaki perlente telah menunggunya. Sebentar kemudian Antini-pun terbang. Bersama dewa barunya. Ke surga! Dia akan menari, seperti bidadari berselendang sutera. Para dewa mabuk. Dan Antini semakin kesurupan, seperti penari kuda lumping yang ditinggalkan jurugambuh-nya. Akan terus menari. Menari terus, hingga mampus!

Ketika siuman, Antini menjerit lirih. Dia terkejut. Rupanya dia sadar telah terlempar dari surga. Kini dia terkapar di sebuah kamar sebuah hotel bintang lima. Di kota yang lain. Dengan lelaki yang lain. Aroma kembang dan bau dupa yang semerbak dalam mimpinya, atau lebih tepatnya pada saat dia menari-nari kesurupan tadi, kini tak ada lagi. Yang tersisa hanyalah bau keringat dan ompol lelaki mabuk di sampingnya. Sangat menyengat.

"Diamput! Mas Dodi tentu telah melakukannya pula."

Pulang. Setiba di rumah, hal pertama yang dia lakukan adalah cek e-mail. Yang dia buka pertama adalah e-mail di mailcity.com. Ada sebuah e-mail dari seseorang dengan alamat: damarwulan@u... Begini isinya:

"Tin, semoga kau baik-baik selalu. Kapan kita bisa bertemu? Ayolah. Ini sudah milenium baru. Atau kau memang sengaja mempermainkanku? Aku sudah menunggumu, dari minggu depan hingga bulan depan, lalu tahun depan. Kini abad yang akan datang kemarin, bahkan milenium yang akan datang itu benar-benar telah datang. Ayolah, Tin. Menarilah bersamaku. Ayo! Aku punya tarian milenium, yang harus kauyakini jauh lebih indah daripada jurus-jurus dewa mabuk seperti yang pernah kauceritakan itu. Ayolah, Tin. Ya...?"

Antini tertawa. Agak kecut, sebenarnya. Dia ingin menyesal tapi tak bisa, atau yang lebih tepat adalah: belum bisa. Mau bangga, mau senang, tak bisa juga.

Tapi dia penasaran juga sebenarnya, dengan laki-laki yang mengaku bernama Ramses, yang menggunakan alamat e-mail damarwulan@u... itu. Laki-laki itu sudah mengirimkan beberapa fotonya ke Antini. Jika foto-foto itu adalah foto-foto orang yang lain, atau memang fotonya, tetapi bukan yang terbaru melainkan foto terlama, itu soal lain. Tapi dari suaranya di telepon,

Antini yakin bahwa Ramses tentu segagah fotonya. Yang disayangkan Antini hanyalah bahwa Ramses orangnya tidak cak-cek seperti kebanyakan laki-laki lainnya. Kurang agresif. Maka segeralah Antini membalasnya dengan menantang untuk bertemu di rumah. "Kalau mau jangan tunggu aku. Tapi datanglah ke rumah. Kini aku yang menunggumu. Berangkatlah dengan penerbangan pertama esok. Soalnya kita hanya punya waktu sampai lusa, ketika pembantu dan anakku akan datang bersama kedua orang tuaku dari desa. Oke?"

Keesokan harinya, mereka benar-benar bertemu. Gelas sudah disiapkan. Anggurpun segera dituangkan. Lalu mereka menari. Berdua. Mereka larut, benar-benar larut dalam gerak tarian yang oleh Ramses disebut sebagai tarian milenium itu, yang pada ujung-ujungnya tak beda jauh dengan kuda lumping. Kesurupan juga! Mereka masih klenger ketika bel tamu berbunyi.

Antini siuman lebih dahulu. Dan segera membuka pintu. Dia hampir kembali klenger ketika melihat seekor anjing bertopi di depannya, dengan mata menyala tajam, meringis, menampakkan gingsul suaminya. Anjing itu mengenakan jean dan t-shirt warna cerah. Baik pada t-shirt yang dikenakan maupun pada lap-top yang ditenteng anjing itu, Antini melihat identitas perguruan tinggi tempat suaminya melanjutkan studinya. Antini punya seribu pertanyaan yang berebut dulu diucapkan. Tapi tenggorokan Antini seperti tersumbat. Ketika dia berhasil membuka mulut, yang keluar justru hanyalah suara: "Hugh...hug...hug....!!!!!" []


Pernah dimuat Jawa Pos awal tahun 2000

0 urun rembug: