Monday 6 April 2009

Minirtiwikin Djidi Gilijipi

SAYA menyambut baik kreativitas H M. Cheng Ho Djadi Galajapo pada bagian Kata Djadi (halaman vii) buku ini. Di situ Djadi memberikan kata sambutan menggunakan huruf vokal ''i'' seluruhnya.

Menurut pelawak dedengkot grup kocak Galajapo tersebut, pemakaian huruf ''i'' vokal dalam kalimat-kalimatnya adalah salah satu bentuk penghematan. Selain itu, huruf ''i'' dipilih lantaran pengucapannya tak perlu membuka mulut lebar-lebar. Menurut Djadi, membuka mulut secara lebar mengesankan sebagai orang yang sombong.


Meski begitu, sebagian orang boleh jadi merasa tidak nyaman mengucapkan kalimat-kalimat yang hanya menggunakan vokal ''i''. Kalimat yang semua menggunakan huruf vokal ''i'' membikin orang tampak mringis karena giginya selalu terlihat sedikit (kalau terlihat banyak disebut mrongos).

Bagaimanapun itu adalah salah satu bentuk kampanye seorang pelawak yang tujuan utamanya membuat orang tertawa, mengocok perut pembaca bukunya. Bukan untuk merusak tata bahasa Indonesia yang baik dan benar atau membuat orang menjadi meringis semuanya.

Dan ternyata, saat kampanye pemakaian satu huruf vokal tersebut saya terapkan untuk judul resensi ini, rasanya juga nggak pas. Karena itu, untuk pembaca yang merasa risi atau aneh pada judul tulisan ini, saya beri tahu: judul asli resensi ini adalah Menertawakan Djadi Galajapo.

***

DALAM kamus besar bahasa Indonesia, ''menertawakan'' dimasukkan sebagai salah satu lema (entry). Artinya ada beberapa. Yaitu: tertawa terhadap; tertawa karena; menghina atau mengejek; dan menyebabkan tertawa.

Buku Neraka Wail dan Kue Terang Bulan ini bisa mencakup semua makna kata ''menertawakan'' tersebut (kecuali menghina atau mengejek, tentu). Lewat kisah-kisah yang terangkum dalam buku setebal 146 halaman plus ini, Djadi Galajapo ingin ''menertawakan pembaca''. Artinya, ia ingin membuat masyarakat tertawa. Dan, rasanya, lantaran Djadi adalah seorang pelawak, itulah tujuan utama buku terbitan JP Books, Surabaya, ini. Yakni, menertawakan orang.

Karena itu, mulailah dia meramu buku dengan kisah-kisah getir kehidupan seorang Djadi Galajapo dan meraciknya dengan tata bahasa dan gaya bertutur yang ringan dan kocak khas pelawak.

Racikan itu memang harus pas. Sebab, sebagian besar kisah yang diusung Djadi memang bukan kisah kocak. Justru, banyak kisah hidup Djadi yang ngenes, susah, pahit, atau menderita yang diceritakan ke pembaca. Misalnya, bagaimana kisahnya ketika merintis karir di dunia lawak dengan menjalani audisi di sebuah bengkel mobil; bagaimana dia harus hidup tersia-sia oleh mertuanya (bahkan, Djadi mengisahkan bahwa dia pernah mengumpati mertuanya lantaran begitu jengkel karena terus-menerus disia-siakan). Atau bagaimana Djadi harus sembunyi-sembunyi melawak karena takut ketahuan embah-nya yang mengutukinya dengan ''neraka wail'' jika Djadi terus mengocok perut orang di atas panggung.

Kisah penderitaan Djadi itu seakan mengamini pendapat sebagian besar masyarakat yang menyebut bahwa komedian besar Indonesia selalu lahir dari keluarga yang menderita. Seorang pelawak harus selalu ditempa dengan jalan hidup yang begitu berliku dan begitu keras, begitu menyakitkan. Buku Djadi menunjukkan itu.

Bagaimanapun, kisah-kisah itu memang harus diselaraskan dengan tujuan buku tersebut. Yakni, menertawakan orang atau membuat orang tertawa. Itu susahnya. Sebab, jika cerita masa lalu yang getir tersebut tidak diramu dengan tata kalimat yang cocok, alih-alih tertawa dan memetik hikmahnya, orang malah mengharu-biru dan menangis-nangis saat membaca buku Djadi. Bisa jadi, saat Djadi manggung, orang tidak lagi bakal tertawa namun malah menyantuninya.

Namun, Djadi tidak hanya ''menjual'' kisah sedih. Cerita sukses, kisah lucu, cerita inspiratif, hingga ide dan pemikiran soal perkembangan dunia lawak dan keartisan lokal pun terselip dalam 29 bab buku ini. Sebut saja saat dia memenangkan ciuman pertama seorang gadis bernama Ana (Meliana Prasetyaningsih Fatchul Jannah) yang akhirnya dinikahi dan memberinya dua anak perempuan. Kisahnya terasa romantis, sedikit erotis, meskipun perjalanan biduk rumah tangganya kerap dipenuhi tangis. Djadi membuktikan bahwa dia bisa menjadi Arjuna (bukan Hanoman seperti kata Kelik Pelipur Lara dalam kata pengantar buku) bagi Ana.

Salah satu yang patut diacungi jempol adalah kejujuran Djadi mengungkapkan hal-hal yang bagi sebagian orang dikategorikan sebagai wadi (rahasia paling pribadi). Tentu itu semua ada maksudnya. Bukan hanya lantaran namanya adalah Sudjadi yang bisa jadi akronim dari Suka Djual Wadi.

Salah satu kejujurannya yang paling jujur (baca: paling berani) adalah pengakuannya soal nyaris berzina dengan seorang penyanyi yang kebetulan sedang manggung bersama Djadi di Pekalongan. Ceritanya, Djadi dan penyanyi itu menginap (atau diinapkan) sekamar. Pada suatu malam (menurut versi Djadi), penyanyi itu menggodanya. Terjadilah pergumulan dahsyat. Saat semuanya sudah muntup-muntup, Djadi (katanya) tiba-tiba sadar. Dia pun mengambil handuk dan menutup perut penyanyi cewek yang cantik dan menggoda itu.

Cerita ini, asli jujur, dan polos. Entah apa reaksi istri Djadi saat mendengar cerita tersebut untuk kali pertama. Yang ini, tidak ada di buku.

Yang patut jadi catatan, buku ini tidak bisa 100 persen memindahkan kelucuan seorang Djadi Galajapo di atas panggung. Memang, mengadopsi humor lisan ke dalam bahasa tulisan bukan pekerjaan yang gampang. Penulis (Bonari Nabonenar dan Kurniawan Muhammad) pun tampaknya menyadari hal itu, sehingga sebelum dikritik kiri-kanan, mereka sudah meminta maaf dalam pengantar buku bahwa mereka takut tidak bisa menyuguhkan tulisan yang cukup lucu.

Penulis bukan cuma minta maaf pada hal itu. Mereka juga nyuwun sorry karena buku itu disusun dalam waktu singkat. Dalam hitungan pekan, mereka mewawancarai Djadi Galajapo lantas menyusun serpih-serpih ingatan dan pijar-pijar kesan, dan catatan-catatan Djadi atas perjalanan hidupnya sebagai manusia (halaman viii).

Itu, tampaknya betul, kesan kesusu pada buku ini tak bisa sirna begitu saja. Kadang ada kalimat yang kurang sedap dilahap, ada judul bab yang pemenggalan katanya tidak pas, atau teks foto yang terasa dipasang serampangan.

Salah satu yang cukup terasa adalah pemilihan foto yang dipakai sebagai ilustrasi. Buku ini memang konsisten menghadirkan satu foto Djadi di awal bab plus beberapa foto di tengah-tengah bab. Nah, ada banyak sekali foto daur ulang. Misalnya, foto pelengkap bab yang diambil wajah Djadi-nya saja lalu dipasang di awal bab lain. Itu terjadi berulang ulang.

Tapi, seperti diakui kedua penulis, buku tersebut jadi dalam hitungan pekan. Mungkin, Djadi tidak sempat melakukan sesi foto khusus --berbagai pose-- untuk melengkapi buku itu sebagai ilustrasi antarbab.

Dan, penulis menyadari berbagai kekurangan itu. Sekali lagi, mereka membuka buku ini dengan permintaan maaf atas kekurangan-kekurangan itu. So, khusus soal kekurangan ini, jangan ditertawakan. (*)

-----

Judul Buku : HM Cheng Ho Djadi Galajapo; Neraka Wail dan Kue Terang Bulan

Penulis : Bonari Nabonenar dan Kurniawan Muhammad

Penerbit : JP Books Surabaya

Cetakan : I, September 2008

Tebal : xiv + 146 Halaman

Doan Widhiandono, wartawan Jawa Pos; penyuka lawak (dos@jawapos.co.id)

Sumber: Jawa Pos [Minggu, 04 Januari 2009]

0 urun rembug: