Saturday 10 January 2009

Untuk Apa Pameran Foto BMI?

MENJELANG akhir tahun 2007, sepulang dari Hong Kong (mengikuti rombongan Pemprov Jatim), muncul gagasan saya untuk menggelar acara pameran foto (foto-foto Hong Kong dan BMI) keliling Jawa Timur. Saya lalu bertanya kepada beberapa BMI-HK melalui SMS, email, dan telepon, apakah dulu ketika masih di penampungan (PJTKI) diberi penjelasan dengan media film atau minimal foto-foto yang memadai mengenai negara tujuan mereka. Ternyata jawabannya negatif: tidak. Jawaban itu semakin memperkuat niat saya. Lalu, saya ajak beberapa kawan, termasuk juga beberapa ornag mantan BMI-HK yang saya kenal untuk menggelar pameran foto itu.


Tentu diperlukan dana, walau tidak banyak, untuk mencetak foto-foto yang akan dipamerkan, untuk biaya transportasi ke/dari tempat pameran termasuk akomodasinya. Mungkin akan terlalu berat jika kami menanggungnya sendiri. Maka, kami coba mendekati pihak yang menurut kami seharusnya tertarik dengan gagasan tersebut. Jawaban yang kami dapat, sungguh luar biasa, ’’Untuk apa sih, pameran foto seperti itu?’’

Jawabannya bisa berderet-deret. Bisa kami katakan bahwa dengan pengetahuan –setidaknya melalui foto-foto—mengenai keadaan negara tujuan akan mengurangi tingkat gegar budaya (shock culture), akan membuat calon BMI makin mantap atau sekalian mundur sebelum berangkat, dan seterusnya.

Singkat cerita, beberapa kopi proposal yang sudah kami jilid rapi tetap menumpuk di atas meja sampai pameran pertama kami gelar. Lha, bagaimana? Orang yang kami kira akan jadi orang yang paling tertarik dengan gagasan pameran foto BMI itu ternyata memberikan reaksi yang sangat mengecewakan. Tetapi, dengan cara yang sangat sederhana dan dalam tempo yang tidak terlalu lama, digelarlah pameran foto Hong Kong dan BMI Kita itu di sebuah kampng terpencil di wilayah Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Lalu di beberapa tempat lain menyusul: Galeri Surabaya, Kampus Universitas Jember, Stadion Kanjuruhan Malang, dan di Tulungagung, bekerja sama dengan –ternyata masih ada—pihak-pihak yang peduli.

Adalah seorang laki-laki bernama Joko Waluyo, datang dari desa yang jauh untuk melihat foto-foto yang dipamerkan itu. Dan, ternyata, Mas Joko itu punya tujuan yang sebelumnya tak pernah kami duga. Ia sudah 9 tahun ditingal istrinya, pamitnya ke Hong
Kong, dan selama itu tak pernah berkabar sama sekali. Lebih dramatisnya lagi, Joko Waluyo cukup lama terpaku di depan sebuah foto, dan dengan bibir bergetar berucap, ’’Ini sepertinya istri saya, tapi saya tidak yakin benar…’’

Demikianlah, Mas Joko kehilangan istrinya. Dan hingga kini, kami juga merasa kehilangan pejabat yang tidak akan tega melontarkan pertanyaan, ’’Untuk apa sih, pameran foto seperti itu?’’

BONARI NABONENAR
Untuk Radar Taiwan edisi 2, Januari 2009

0 urun rembug: