Tuesday 7 February 2012

Pemerintah belum Berterima Kasih

24 Tahun Hadiah Rancage, Sebuah Catatan

Sejak Zaman Kerajaan, Singasari, Majapahit dll, raja sebagai presentasi kerajaan memberikan penghargaan yang tinggi kepada para pujangga/kawi (pengarang/penyair), tidak hanya berupa peralatan menulis, rumah, tanah, tetapi juga hak-hak istimewa secara khusus.

”Restu raja yang demikian itu didambakan (oleh penyair/kawi) serta diterima sebagai suatu anugerah. Restu itu pasti memberikan dorongan yang diperlukan untuk mengerjakan tugasnya dan menyelesaikannnya dengan memuaskan. Restu itu mungkin juga meliputi dukungan material berupa hadiah-hadiah yang mungkin lebih daripada ’papan tulis dan tanah’ semata-mata. Simpati sang raja juga merupakan berkat yang menyuburkan karya seorang penyair/kawi. Kesaktian yang berpusat pada dan memancar dari raja mempengaruhi karya penyair dan menambah suksesnya.” (Zoetmulder dalam Kalangwan: 1983).



Kritik terhadapa model pemberian hadiaah kepada sastrawan oleh raja seperti itu adalah: sastrawan/pujangga lalu seperti terkooptasi oleh kepentingan (kekuasaan) kerajaan. Tetapi, esensi pemberian hadiah atau penghargaan kepada sastrawan sebagai salah satu sumber wacana kearifan, setidaknya sebagai ”praktisi gerakan literasi” tetap sangatlah penting. Itu yang agaknya dilupakan oleh pemerintah kita sekarang ini.

Hadiah Sastra Rancage, selanjutnya disebut Rancage, adalah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah. Penghargaan ini diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, yang didirikan budayawan Ajip Rosidi, Erry Riyana Harjapamekas, Edi S. Ekajati, dan beberapa tokoh lain sejak 1989. Artinya, hingga sekarang tradisi pemberian penghargaan untuk buku dan tokoh yang dipandang berjasa terhadap pengembangan bahasa dan sastra daerah itu telah berjalan 23 tahun. Konsistensi semacam ini patut mendapatkan apresiasi dan dukungan, untuk menyelalamatkan bahasa-bahasa ibu dari kepunahan.

Sejak 1994, Yayasan Rancage diberikan untuk buku sastra Jawa (antologi cerkak/cerpen, guritan/puisi, novel). Tahun ini antologi geguritan Ombak Wengi (2012) karya Yusuf Susilo Hartono terpilih untuk mendapatkannya. Hanya ada satu tahun kosong (1995) karena tidak ada buku karya sastra Jawa yang terbit pada tahun tersebut. Untuk kategori tokoh berjasa dalam bidang pengembangan bahasa dan sastra Jawa, tahun ini terpilih Sucipto Hadi Purnomo, Ketua Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) yang juga dosesn Unnes.

Saya merasa beruntung dapat terlibat obrolan santai di rumah makan milik keluarga Ayip Rosidi (Magelang, 2010) sebelum acara penyerahan hadiah keesokan harinya di Kampus Universitas Negeri Yogyakarta. Dari obrolan itulah saya tahu, betapa kerasnya upaya untuk mempertahankan tradisi yang sangat mulia tersebut. Sangat mulia, karena selain menjadi pilar upaya menumbuhkan tradisi literasi dalam rangka ”mencerdaskan kehidupan bangsa”, Hadiah Rancage sekaligus menjadi pilar pelestari nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pak Ayip pun bercerita, pernah suatu kali, rekeningnya kosong padahal hanya dalam beberapa hari hadiah (piagam dan uang) harus diserahkan kepada para pemenang. Sampai pada saat paling genting (sebelum hari H), tiba-tiba ada uang masuk sejumlah yang dibutuhkan, dari pihak yang tidak bisa diketahui.

Melihat apa yang dilakukan Ayip Rosidi bersama Yayasan Rancage-nya, kita lalu tergelitik pula untuk bertanya, ”Apakah yang sudah dilakukan oleh Pemerintah di bidang literasi, satu hal yang diyakini sebagai kunci utama untuk meningkatkan ”kecerdasan bangsa” ini? Tradisi pemberian hadiah, dalam sastra Indonesia pun tidak ada bukan? Kalaulah ada, paling-paling hanya rog-rog asem, berjalan setahun dua tahun, setelah itu lenyap entah ke mana. Beberapa versi hadiah untuk Sastra Indonesia pun, yang nilainya tergolong besar justru diselenggarakan oleh lembaga nonpemerintah.

Harus diakui, dampak penganugerahan Hadiah Rancage untuk buku Sastra Jawa sangat signifikan. Sebelum tahun 1994 banyak tahun kosong penerbitan buku sastra Jawa. Atau jika ada pun, biasanya adalah buku ”stensilan”, berupa antologi bersama, dan tidak ber-ISBN. Setelah ada Rancage untuk Sastra Jawa, hingga taun ini hanya 1995 saja yang tidak ditandai dengan adanya buku karya sastra Jawa yang terbit. Dengan gambaran tersebut saya tidak ingin mengatakan bahwa Rancage adalah satu-satunya pendorong semangat untuk menerbitkan buku karya sastra Jawa.

Bahkan, ketika geliat penerbitan buku karya sastra Jawa sudah mulai membaik seperti sekarang, dan pada saat mengalami masa-masa yang subur kelak (jika itu akan terjadi) pemberian penghargaan untuk karya”terbaik” seperti dilakukan Yayasan Rancage semakin penting, sebagai bagian dari kritik dan sekaligus pengawal kualitas karya sastra berbahasa daerah. Dalam kaitannya dengan perkembangan Sastra Jawa Modern, Rancage seolah juga mengisi ruang kosong kritik setelah ditinggalkan Suripan Sadi Hutomo, Poer Adhie Prawoto, Piek Ardijanto Soeprijadi, dan beberapa nama (kritikus) lain.

Pemerintah (daerah), sesungguhnya sangat terbantu oleh Rancage. Dalam urusan penyediaan buku-buku bacaan berbahasa daerah di sekolah, setidaknya setiap tahun ada buku-buku terpilih. Dengan ini saya juga tidak sedang mengatakan bahwa Rancage adalah satu-satunya saringan untuk meloloskan buku-buku bacaan berkualitas untuk perpustakaan di sekolah-sekolah. Adalah sangat pantas jika buku-buku karya sastra Jawa yang telah mendapatkan Rancage itu kemudian juga disambut oleh pemerintah (daerah) melalui Dinas Pendidikan. Sambutan yang baik adalah dengan membelinya untuk disebarkan ke sekolah-sekolah.

Alih-alih memberikan sambutan yang baik terhadap buku-buku sastra berbahasa Jawa terpilih (oleh Yayasan Rancage), saya malah mendapat kabar dari beberapa pengarang sastra Jawa yang didesak-desak oleh penerbit untuk menyetor naskah agar nantinya bisa diterbitkan setelah mendapat persetujuan Dinas Pendidikan. Artinya, setelah keuntungan dapat dihitung secara pasti. Tidak akan jadi masalah jika cara begitu hanya sebagai varian. Tetapi, tidak mengacuhkan buku-buku ”Rancage” dan memilih buku-buku yang diseleksi secara terburu-buru adalah tindakan degsiya alias semena-mena. Padahal, buku-buku sastra Jawa di luar ”pesanan” Dinas Pendidikan pada umumnya diterbitkan dengan tidak mengejar keuntungan finansial. Karena itulah, cara memberikan dukungan kepada Yayasan Rancage, menurut Ayip Rosidi, selain memasukkan bantuan dana ke rekening (Yayasan Rancage) adalah dengan menjadikan buku-buku pemenang Rancage sebagai bahan bacaan di sekolah-sekolah di wilayah masing-masing: Sunda, Jawa, Bali, Lampung.

Sekarang ini sangat tampak bahwa pemerintah (daerah), agaknya kecuali Jawa Barat, tidak tahu (-menahu) persoalan seperti itu. Maka, mendesak-desak agar pemerintah (daerah) menciptakan tradisi pemberian hadiah tersendiri kepada orang-orang yang dipandang berjasa terhadap pengembangan bahasa dan sastra daerah (dengan karya buku maupun aktivitas lainnya) menjadi agak lucu. Dan akan sangat potensial mengacaukan keadaan, jika yang dibayangkan adalah bentuk/sistem seperti yang sudah dilakukan Yayasan Rancage. Walaupun, dulu saya pernah juga meneriakkan hal seperti itu. Sekarang saya tahu, para pengarang sastra Jawa masih harus bersabar. Pemerintah (daerah) pancen durung jawa, kok!

Sudah 24 tahun Rancage mendorong dan mengawal perkembangan bahasa dan sastra daerah (Sunda, Jawa, Bali, Lampung). Walau belum menjangkau daerah-daerah lain di seluruh wilayah negri ini, sesungguhnya Rancage telah dengan suka-rela mengambil alih tugas negara yang seharusnya dilakukan pemerintah. Sedangkan pemerintah, seperti belum tahu caranya berterima kasih.*

[Jawa Pos, Minggu, 5 Februari 2012

2 urun rembug:

Pak bon, sayange artikel punika boten saget badhe kawula reblog.

Kula kinten, sae punapa ingkang sampun jenengan dhawuhaken lan kedah dipun biwaraake kersanae pamerintah matane melek.

mangga, rak saget dipun-copas, ta? nuwun.