Saturday 18 December 2010

Lha Wong Istilahnya saja Kacau..!

Tanggal 18 Desember 2010 kemarin, seperti ditulis Wahyu Susilo dari Migrant Care (Kompas, 18/12) bertepatan dengan 20 tahun Konvensi Internasional untuk Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Sudah 20 tahun, dan Indonesia masih ’njintel’ saja, belum meratifikasinya!

Dalam tulisan berjudul Sesat Pikir soal PRT Migran itu Wahyu mendedah beberapa kesalahan (kesesatan) pola pikir ’Pemerintah’ mengenai profesi Pekerja Rumah Tangga (PRT) Migran. Antara lain Wahyu menulis, ’’Konstruksi sesat pikir yang terus dibangun oleh pemerintah adalah dengan menyebut PRT migran sebagai sebagai pekerja tak berketrampilan (unskilled) dan informal.’’

Apa yang disampaikan Wahyu Susilo itu sebenarnya hanya dapat ’dibantah’ oleh siapa yang hanya berpura-pura tidak paham. Jangankan di ranah yang lebih pelik, di tataran pemakaian istilah saja, harus diakui: masih kacau. Marilah kita catat bahwa hingga saat ini, bahkan di tataran bahasa, masih juga berlaku istilah TKI, TKW, yang diciptakan tanpa logika itu.

TKI adalah singkatan dari Tenaga Kerja Indonesia. Itu berarti semua manusia Indonesia usia produktif secara logis adalah TKI, bahkan walau ia menganggur. Maka, menyebut TKI hanya bagi tenaga kerja asal Indonesia yang bekerja di uar negri adalah tidak masuk akal alias tidak logis.

Ada lagi istilah TKW sebagai singkatan dari Tenaga Kerja Wanita. Ini, setidaknya mengandung 3 kesalahan: (1) diskriminatif gender, (2) seperti halnya TKI tadi, yang bekerja di Indonesia pun kalau jenis kelaminnya perempuan ia juga TKW kan, secara logis? Dan bahkan: (3) karena TKW dan bukan TKWI, maka sebenarnya semua perempuan atau wanita usia produktif yang sehat jasmani dan rohani adalah TKW, termasuk yang menganggur, tanpa memandang kewarganegaraan dan di mana mereka bekerja.

Di luar urusan pekerja atau buruh migran, sebenarnya kita juga punya cukup banyak masalah berkaitan dengan istilah yang mengandung: "wanita" --misalnya: ada Dharma Wanita dan tidak ada Dharma Pria, ada Wanita Tuna Susila, mengapa tidak ada istilah Pria Tuna Susila. Terutama untuk yang terakhir itu, de facto-nya ada banget, bukan?

Lalu, khusus untuk PRT, pemerintah menciptakan pula istilah PLRT, singkatan dari Penata Laksana Rumah Tangga. Haiya! Kok malah jadi sibuk membentuk istilah? Makin kacau, ada paradoks juga di balik sebutan ciptaan pemerintah, ’’Penata Laksana Rumah Tangga’’ itu. Ini istilah yang sangat gagah, yang mengesankan adanya pengakuan (oleh pemerintah) bahwa pekerja rumah tangga adalah profesi formal. Bukan informal. Kata ’penata’ itu segera menhgngatkan pada sebuah jenjang kepangkatan dalam kepegawainegerian: Penata Tingkat I dst, Penata Muda (untuk Golongan 3-A ?) –eh ada Penata Tua juga enggak ya?

Tetapi? Kembali seperti yang disebut Wahyu Susilo sebagai kesesatan pikir tadi itu, istilah-istilah itu seolah hanya diciptakan dengan semangat asal njeplak saja. Buktinya, bahkan di tengah-tengah masyarakat kita pun masih banyak yang berpikiran bahwa PRT bukan pekerja, melainkan hanya pembantu. Lho, gimana ta? Mosok pembantu kok mengerjakan lebih banyak daripada yang dibantu? Jan sontoloyo tenan kok! [ehek-ehek]


FOTO: YANY WIJAYA KUSUMA

0 urun rembug: