Thursday 30 December 2010

2010: TAHUN PENUH TANDA TANYA

pitakone suta marang naya
: kowe melu sapa?
pitakone buruh marang juragan
: kapan kowe dhamang
ajine kringet lan kamardikan?



Kowe melu sapa? Kamu ikut siapa? Itu pertanyaan yang sangat sederhana. Apalagi jika hanya berkaitan dengan keberangkatan sebuah rombongan darmawisata. Tetapi, lalu menjadi rumit ketika menyangkut pilkada, pilkades, pileg, dan pil-pil lainnya. Apalagi jika kemudian berujung tawar-menawar dan jual-beli suara. Dan dari pertanyaan sederhana itulah tumbuh perkara yang terus membesar dan semakin runyam.

Pertanyaan berikutnya: pertanyaan buruh kepada sang majikan: kapankah kau akan paham harga keringat dan kemerdekaan? Saya pun tidak punya penjelasan yang baik untuk pertanyaan ini, yang gaungnya terus menggema, bahkan di kota kita ini.

Mengapa Malaysia yang tidak memiliki gunung berapi itu seolah tanahnya lebih subur dan rakyatnya lebih makmur daripada negri kita yang nyaris dipenuhi gunung berapi? Mengapa pula negri jiran yang jumlah penduduknya hanya 27 sekian juta jiwa itu memiliki kesebelasan yang lebih berjaya dibandingkan negri kita yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa? Apakah karena mereka menyurangi kesebelasan kita dengan sinar laser dan kesebelasan kita lupa memakai kacamata hitam?

Daftar pertanyaan ini bisa kita perpanjang sampai esok, atau lusa. Dan saya semakin tak tahu apa jawabnya, sampai kemudian saya teringat, pada suatu hari seorang Suparto Brata menawarkan ini: ’’Mas Bonari, jika untuk keharmonisan dunia itu diperlukan tiga orang dewa, maka kita telah kehilangan salah satunya. Kita ini seperti tidak lagi memiliki Dewa Wisnu, dewa yang bertugas memelihara, merawat, dan menjaga.’’

Dua orang dewa lainnya adalah Dewa Pencipta dan Dewa Pemusnah, Syiwa dan Brahma. Mereka masih bersama kita. Karena itulah kita terus mencipta dan tak henti-henti memusnahkan. Gedung-gedung baru diciptakan, dan tak jarang pula dengan merusak gedung-gedung lama yang sesungguhnya lebih bernilai. Tarif listrik pun diciptakan yang baru, dengan merusak tarif yang lama.

Dalam dunia wayang, Dewa Wisnu itu biasanya mengejawantah pada sosok pemimpin besar, misalnya: Prabu Rama, Raja Ayodyapala, Prabu Kresna, Raja Dwarawati.

Nah, kini sampailah kita pada pertanyaan yang saya tahu jawabannya. Apa yang mesti kita lakukan ketika ’’Dewa Wisnu’’ itu tak karuan di mana tempatnya? Jawabannya adalah: Bermain cantik seperti Firman Utina dan (tobat) Nashuha beserta kawan-kawannya tadi malam itu. Ingatlah: bermain cantik, bermain cantik, dan bermain cantik. [bonari nabonenar]

Untuk parade kuliah kebangsaan di fisip unair, Kamis, 30 Desember 2010

0 urun rembug: