pada waktu kecil aku bukan anak yang ekspresif
tidak mudah menyatakan diri
menceritakan pengalaman
mengungkap kesedihan atau kegembiraan
atau keinginan-keinginan
dengan bahasa kata-kata yang jlentreh
maka ketika menginginkan baju baru
aku akan jatuh sakit
biasanya setingkat demam
: mbriyeng atau ngelu
dan ibu biasanya buru-buru
mengorek keterangan dariku
lebih dari seorang dokter
mewawancarai pasiennya:
pengin makan apa?
dibikinkan jenang sungsum ya?
tidur kelon simbah atau kelon ibu?
lha pengin apa?
apa pengin baju baru?
aku sudah lupa
apakah aku menjawabnya dengan kata-kata
anggukan kepala
atau dengan sebersit senyum penuh makna
keesokan harinya kudapat baju baru
dan berbunga-bungalah hatiku
dan tak sempat berpikir
apakah uang simpanan atau ngutang tetangga
yang digunakan ibu
buat beli baju baruku
dan seperti dalam pertunjukan sulap
demam pun lenyap
dalam sekejap
makanan yang beberapa hari bagaikan kupantang
pun segera kulahap
maka malam itu sebelum lelap
dengan erat ibu memelukku sambil berucap
: maafkan ibu nak, ya?
ibu tak tahu kalau ternyata kauinginkan baju yang baru
--maka sambil mengenang petikan kisah mengharu-biru itu
kini ketika uban mulai tumbuh di ketiakku
hampir pingsan aku justru saat menyadari
belum sempat kubisikkan permohonan maaf
kepada ibu
dengan takaran dan timbangan seperti yang pernah
ia bisikkan di telingaku
Trenggalek, Januari 2010
2 urun rembug:
ada lucu, ada haru dalam puisi ini, ah, kata ibu memang selalu menjadi pemicu haru dalam kalbu
Terima kasih Mas AWIE, telah mampir dan komentar di sini. suwun.
Post a Comment