Tuesday 17 April 2012

Dari Jawa Timur untuk Indonesia

Rumah-rumah bagus, tetapi sepi, dan loket penukaran mata uang asing bertebaran di berbagai penjuru. Itulah pemandangan kampung-kampung atau kota-kota kecil yang ditinggalkan banyak warganya untuk bekerja di luar negri. Demikianlah sekilas gambaran yang dapat disampaikan untuk menjelaskan, betapa gaya hidup konsumtif adalah ”lawan terberat” bagi para pekerja migran/mantan pekerja migran. Padahal, di sisi lain, pengalaman bekerja di negri orang dengan disiplin yang lebih ketat seharusnya membuat mereka menjadi orang-orang produktif.



Untuk menggambarkan gaya konsumtif itu pula, seorang teman di Blitar –salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki banyak pekerja migran-- memberikan saran, ’’Jangan beli motor di Blitar menjelang Lebaran!’’ Mengapa demikian? Karena biasanya harus inden, rela berlama mengantri. Begitulah, di Blitar, beli motor seperti beli baju saja. Enteng saja pakai motor-baru saat Lebaran.

Sebuah bank nasional menawarkan kredit rumah (mewah) seharga ratusan juta rupiah di setengah halaman warna sebuah koran bulanan yang dicetak dan diedarkan untuk komunitas pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong. Penjual furniture, motor, dan barang-barang elektronik di tanah air pun menyebarkan brosur penawarannya di Hong Kong. Jadi, para pekerja migran asal Indonesia di Hong Kong itu bisa bertransaksi jual-beli di Hong Kong, dan tinggal tunggu kabar dari kampung bahwa barang-barang yang dibeli itu sudah terkirim ke rumah. Bukan hanya barang-barang kasatmata berkait kebutuhan rumahtangga sehari-hari. Benda-benda azimat dan bahkan tuyul pun konon diperjualbelikan pula dengan cara transaksi modern seperti itu.

Biasanya pula, pekerja migran pulang kampung dan membeli barang-barang konsumtif dengan penuh nafsu. Akibatnya, mulai enam bulan pertama, satu per satu barang-barang baru pun kembali terjual. Pada ujungnya, tak ada lagi pilihan: kembali lagi ke luar negri. Begitu berulang-ulang, sampai tua. Mereka seperti sisipus yang dikutuk para dewa dalam mitos Yunani Kuno.

Sementara ini, kita belum mendengar kabar gembira: sebuah kabupaten menyiapkan kawasan bisnis, membangun ruko-ruko murah untuk di-kredit-kan kepada para pekerja migran-nya, menyiapkan bengkel-bengkel kerja (workshop) untuk pelatihan kewirausahaan bagi suami/istri TKI yang ada di desa. Padahal, tanpa meremehkan urusan lainnya, mempersiapkan para pekerja migran untuk menjadi entrepreneur di negri sendiri adalah sangat penting. Itu adalah bagian dari program ”perlindungan” juga.

Dari sisi lain, banyak orang keburu berpikir bahwa bantuan untuk para pekerja –terutama mantan—pekerja migran itu pertama-tama adalah uang dalam bentuk pemberian kredit dari bank. Padahal, pengembangan wawasan dan ketrampilan mereka jauh lebih penting. Tak kalah pentingnya pula adalah: mendampingi mereka dalam mengembangan usaha.

Karena itulah, ketika Mas Abdul Aziz memberondongkan gagasan-gagasannya dan serta-merta mendapatkan sambutan luar biasa bagusnya dari para pekerja migran (di Grup Facebook: Pembaca Majalah Peduli), saya langsung berteriak di dalam hati: ”Inilah saatnya untuk memulai!”

Ini momentum yang sangat bagus untuk bersama-sama berbuat bagi bangsa, melalui kepedulian terhadap para pejuang ekonomi bangsa yang kita sebut pekerja migran itu. Mari bersama-sama bertindak sekarang juga!

Pasti banyak orang dapat membuat tulisan lebih lengkap, lebih rinci, dan lebih ber-”teori”. Kelebihan tulisan-tulisan Mas Abdul Aziz ini adalah: terbukti telah menggerakkan pikiran sekian banyak pekerja migran, terutama yang ada di Hong Kong. Bahkan, tak sedikit pula yang secara spontan menyatakan bahwa, membaca gagasan-gagasan Mas Aziz membuat ingin cepat-cepat pulang kampung dan mengembangkan usaha/bisnis sendiri. Buku yang tebal dan penuh dengan catatan kaki bisa jadi malah tak sekuat itu daya ”usik”-nya!

Sudah sejak sekian tahun lalu saya menyatakan bahwa seyogyanya Jawa Timur tampil terdepan dalam hal terobosan-terobosan untuk memberikan penguatan terhadap perjuangan para pekerja migran. Mereka telah bercucuran keringat, air mata, bahkan darah untuk kehidupan yang lebih bagus. Memang sering tampak: mereka berangkat atas kemauan sendiri, demi diri dan keluarga mereka. Tetapi, pada hakikatnya, mereka adalah para pejuang bangsa juga. Jika tidak demikian, buat apa orang menyematkan gelar ”pahlawan devisa” itu? Maka, inilah saatnya kita bergerak: dari Jawa Timur untuk Indonesia!

Salam Posmi!
The Power of Sayur Mider!
Ethek… ethek… ethek… hruuuungngng….!


BONARI NABONENAR
Pemimpin Redaksi Majalah Peduli

1 urun rembug:

Padahal Blitar kota kecil ya gan, coba klo di surabaya