Friday 17 October 2008

Proyek Gagal


Tiba-tiba seseorang melontarkan ’ramalan’ bahwa Proyek Pemerintah yang dikenal dengan sebutan BLT atau be-el-te --yang sering diplesetkan menjadi Bantuan Langsung Tawuran, atau bahkan Bantuan Langsung Tewas—akan menjadi proyek gagal. Maksudnya, orang-orang/keluarga yang sekarang menjadi penerima BLT itu dalam beberapa tahun mendatang akan tetap menjadi penerima BLT. Artinya, mereka masih saja melarat, masih saja tidak punya cukup kemampuan untuk hidup mandiri secara layak.

Jika ramalan itu kelak terbukti, tumpukan daftar proyek gagal akan semakin membukit. Sejak zaman Pak Harto (baca: Era Orde Baru) Pemerintah gencar mengadakan proyek untuk memberdayakan masyarakat miskin yang sering identik dengan: masyarakat di pedesaan. Kita boleh mencatat misalnya, proyek bantuan sapi unggul, kambing, hingga kelinci untuk menggeliatkan usaha peternakan di kalangan masyarakat pedesaan, yang ujung-ujungnya dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Tetapi, baik itu sapi, kambing, dan seterusnya itu, nyaris semuanya menjadi ’kelinci’ (percobaan) yang gagal.

Juga, proyek penghijauan, penggalakan tanaman terasering di wilayah-wilayah desa pegunungan. Kini, jangankan tanah warga, tanah hutan yang seharusnya dijaga kerimbunannya sebagai penyimpan air, penahan longsor, dan pengendali banjir serta gudang udara bersih dan sehat (sumber oksigen) pun sudah pada gundhul tholo-tholo.

Tanah semakin tandus, panen sering gagal, padahal jumlah mulut yang perlu diberi makan semakin banyak. Lalu, alam pun menyuguhkan tradisi/kebiasaan baru: bencana. Ya, bencana, apakah itu berupa puting beliung yang dalam pekan ini menggasak beberapa kota di Jawa Timur: Malang, Sidoarjo, Ngawi, Ponorogo, Trengalek, Masiun, dll.

Mengapa proyek-proyek itu bertumbangan? Ada beberapa hal dapat dijadikan catatan. Walau sebelumnya dilakukan studi/penelitian, biasanya ketika mau menggulirkan proyek, wong-wong ndesa itu diasumsikan oleh pihak Pemerintah sebagai wong bodho yang hanya dapat: dibantu, diberi, diperintah, dan bahkan dicekoki, dan nyaris tidak pernah diajak bicara. Maka, ketika musim proyek kambing, ya semua desa dikirimi kambing, tanpa ditanya dulu apakah warganya benar-benar suka beternak kambing atau tidak.

Lalu soal pendampingan yang sangat kurang. Ini juga berkaitan dengan penyegaran atau bahkan pengubahan pola pikir masyarakat. Peran pendamping sering dianggap tidak penting. Hanya dianggap penting untuk dicantumkan namanya di formulir, tetapi kehadirannya di tengah-tengah masyarakat yang didampingi sering luput dari perhatian.

Dan catatan yang tak kalah pentingnya lagi adalah pengawasan dan kemudian evaluasi. Mungkin evaluasi diadakan, tetapi hasilnya kurang diperhitungkan untuk pengguliran proyek berikutnya. Maka, yang terjadi kemudian adalah: proyek yang tidak tepat sasaran, tumpang-tindih, dan pada akhirnya menambah daftar proyek gagal.

Sebenarnya akan lebih baik jika kita dapat berdiskusi pula soal proyek-proyek pemerintah yang berkaitan dengan pemberdayaan sekelompok warga masyarakat yang oleh Pemerintah disebut: TKI Purna. Apakah daftar gagalnya cukup banyak juga? Apakah ada tumpang tindihnya juga? Kapan, ya?[]

0 urun rembug: