Saturday 23 August 2008

Tanggal Cantik, Standar Ganda

Seorang ibu muda, Susanti (25), melahirkan anak pertamanya di RS TNI AU dr Soemitro melalui operasi caesar pada waktu yang disebut banyak orang sebagai tanggal cantik (08-08-08). Seperti diberitakan Jawa Pos (9/8) tanggal cantik itu dipilih agar sang anak beruntung.

Mungkin mitos peruntungan berkaitan dengan bilangan (yang dilambangkan dengan angka) itu diciptakan orang bersamaan dengan ditemukannya sistem penanggalan (kalender) atau bahkan sejak orang mengenal bilangan dan menciptakan angka itu sendiri. Maka, kemudian berkembanglah ’ilmu’ mengenai bilangan, angka, nomor, yang dikenal dengan istilah numerologi.

Maka, seorang teman sedemikian bangganya ketika mendapatkan kartu telepon dengan nomor yang dianggapnya cantik, empat angka paling belakangnya adalah: 5758. Itu disebutnya angka cantik yang akan meningkatkan peruntungannya karena kalau dibaca akronimnya (dalam bahasa Indonesia) jadi: maju (lima tujuh) mapan (lima delapan). Padahal, kalau angka 5758 itu diakronimkan dalam bahasa Jawa akan jadi ’’matu malu’’ (lima pitu lima wolu), yang jika ditulis dengan aksara Jawa nglegena --tanpa sandhangan untuk menentukan (bunyi) vokalnya—jadi: mata mala (mata = mata, mala = penyakit)! Nah, inilah ngelmu gathuk, atau othak-athik-mathuk. Kalau belum mathuk (cocok) ya di-othak (bongkar) lagi!

Salah satu ranting numerologi, barangkali, adalah yang di dalam budaya Jawa disebut sebagai neptu, yakni (nilai/angka) untuk hari, bulan, tahun, dan seterusnya.

Neptu dina (hitungan hari) paling populer di dalam kehidupan orang Jawa untuk urusan perjodohan, walaupun orang Jawa yang masih taat dengan kebiasaan hidup yang diwarisinya secara turun-temurun akan memakai pertimbangan neptu untuk hampir di segala urusan, termasuk membuat atau memindahkan kandang kambing.

Dari urusan neptu dina itu pula terlihat betapa akomodatifnya budaya Jawa menerima pengaruh asing. Orang Jawa memiliki penanggalan dengan 5 hari dalam sepekan (pancawara): Kliwon (8), Legi (5), Pahing (9), Pon (7), Wage (4). Lalu menerima penanggalan/kalender masehi dengan 7 hari dalam sepekan (saptawara): Minggu (5), Senin (4), Selasa (3), Rabu (7), Kamis (8), Jumat (6), Sabtu (9). Maka, untuk orang yang lahir Rabu-Kliwon, neptunya adalah 7 + 8 = 15. Angka 15 itulah yang kemudian digunakan untuk, misalnya, membaca karakter atau menilai apakah ia cocok/berjodoh dengan seseorang.

Seiring dengan menguatnya pengaruh budaya Barat, ketertarikan orang (Jawa) terhadap neptu dina semakin terdesak pula oleh ’perhitungan’ perbintangan (astrologi, bukan astronomi). Malahan budaya Timur (China) yang belakangan makin disukai adalah perhitungan berdasarkan shio. Sejauh ini saya belum menemukan ’kearifan’ orang Jawa menyerap pengaruh China/Barat itu seperti halnya nenek moyang dahulu begitu ’pinternya’ mengawinkan pancawara dengan saptawara, walaupun di dalam praktik ’pernujumannya, orang bisa saja mendasarkan perhitungannya secara ’interdisipliner’.

Kembali ke persoalan menentukan hari kelahiran untuk menepatkannya dengan ’tanggal cantik’ tadi, terlihatlah betapa masyarakat kita yang mengaku semakin modern ini justru semakin kuat meyakini gugon-tuhon alias tahayul –kalau boleh disebut begitu. Orang-orang dahulu mendasarkan perhitungan weton atau kelahiran dan lain-lain itu berdasarkan sistem yang jelas, berdasarkan hubungan timbal-balik antara mikrokosmos dengan makrokosmos, antara manusia dengan alam yang ’harmonis.’ Dengan ’memaksakan’ kelahiran melalui Caesar untuk mendapatkan bilangan hari kelahiran yang ’cantik’ berarti orang telah mengagungkan egoismenya dan seakaligus merusak ’keharmonisan’ hubungan mikrokosmos dengan makrokosmos itu.

Maka, dengan tulisan pendek ini, sebenarnya saya hanya ingin mengatakan bahwa dengan nomor (HP) cantik, tanggal (kelahiran) cantik, dan semacamnya itu kita yang mengaku sebagai masyarakat modern ini ternyata lebih nglenik daripada nenek moyang kita. Lebih dari itu, standar ganda pun diterapkan: mengakui ada kekuatan di luar diri yang menentukan peruntungan/nasib berkaitan dengan tanggal kelahiran, misalnya, tetapi tidak mau memasrahkan kapan anak-anak kita harus lahir kepada kehendak Sang Penentu Nasib itu sendiri. Operasi Caesar sebagai langkah darurat untuk menghindari risiko pada bayi maupun ibu yang melahirkan adalah tindakan yang bagus. Tetapi, kalau dilakukan hanya untuk memilih tangal cantik, menurut saya itu bukan tindakan yang cantik! [BN]

0 urun rembug: