Friday 23 January 2015

”Apalagi Beliau Seorang Pejabat”

KETIKA BW DITANGKAP
FOTO: harian-terbit

Pengantar: Penangkapan terhadap BW dengan segala pernik-perniknya memberikan semakin banyak gambaran mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ini sekadar laporan dari relung perasaan warga bangsa/negara, dan karena itu tentu sangat subyektif.


Melalui media cetak, daring,maupun elektronik sering kita dengar frase, ”Apalagi beliau (BW) seorang pejabat negara.” Frase tersebut sering muncul pada pertanyaan atau pernyataan berkaitan dengan cara penangkapan terhadap BW oleh Bareskrim Polri (22/2). Kalau kita sedikit cermat, frase itu dapatmenimbulkan 2 pemahaman yang berbeda, trgantung konteks, nada, dan gesture pengucapnya.

Pertama, ketika muncul dari pihak Bareskrim, kesan pertama terlintas adalah bahwa, sambil meyakinkan bahwa penangkap sudah melakukan sesuai prosedur, etis, dan manusiawi, pesan lain mengikuti tanpa disadari pembicara: bahwa pada kenyataannya hukum (harus) pandang bulu, pandang status sosial, jabatan, dsb.

Kedua, ketika frase, ”Apalagi beliau adalah pejabat negara,” yang diucapkan para pemihak BW, termasuk kuasa hukumnya, sekilas bisa saja dimaknai sebagai harapan agar: hukum pandang bulu. Tetapi, kalau kita cermati bahwa konteks frase itu berada pada kalimat yang menyayangkan cara penangkapan terhadap BW cukup berlebihan di mata banyak orang: ada pemborgolan, dan aksi dilakukan di hadapan anak (kecil?)salah seorang putra BW, kita akan sampai pada pesan di balik kata-kata tersuratnya bahwa:

Harus diyakini bahwa BW akan bersikap kooperatif dan tidak perlu diborgol pada operasi penangkapannya. Karena jabatan BW yangf prestisius (Wakil Ketua KPK) serta rekam jejaknya sebagai pengacara dan aktivis di masa lalunya, akan sangat naïf jika yang bersangkutan tidak kooperatif. –Bedakan dengan perampok, teroris, dan sejenisnya.[*]