Monday 19 January 2009

Ketika Daerah ’’Diberi Porsi’’ untuk Ikut Mengurusi TKI

’’Seiring efektifnya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-22/MEN/ XII/2008 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengalihkan sebagian besar kewenangan pelayanan TKI dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) ke pemerintah daerah.’’



Begitu Kompas (di-online-kan Jumat, 9 Januari 2009 | 00:46 WIB) menulis, menyampung paragraph pertama berita berjudul ’’ BNP2TKI Lapor Presiden soal Pengalihan Kewenangan’’ yang berbunyi begini: ’’ Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia bakal kehilangan 95 persen porsi pekerjaan mulai 1
Februari 2009.’’

Kehilangan 95 persen pekerjaan? Ini musim PHK. Banyak orang kehilangan 100 % pekerjaan. Atau bahkan lebih, bisa lho kehilangan 110 atau 120 % ’pekerjaan’, karena, misalnya, begitu mengetahui dirinya di-PHK oleh instansi atau institusi tempatnya bekerja lantas kaget semangere (shock) sehingga kemlurusen alias kebablas sakit. Secara kelakar, kita bisa bilang bahwa kehilangan walau kehilangan 95 % dari yang dimiliki itu memang pantas kaget semangere, tetapi kalau mau memakai ilmu beja-ne wong Jawa (ilmu untung orang Jawa), seharusnya masih bisa bilang: ’’Untung yang hilang cuma 95 %. Coba kalau ilang semua!’’

Di sepanjang penerapan sistem otonomi daerah yang digeber pada awal-awal era reformasi, sering terdengar lagu pating klenyit, bahwa setelah reformasi ternyata banyak jembret-nya, sistem otonomi daerah pun ternyata dinilai banyak pihak melenceng dari cita-cita semula. Bahkan, seorang Prof Ryas Rasyid mantan Mendagri yang boleh dibilang sebagai bidan penerapan Sistem Otonomi Daerah dalam sebuah seminar di Surabaya dengan nada geram mengatakan bahwa penerapan sistem pemerintahan yang diperjuangkannya itu melenceng dari harapan semula.

Keluhan Ryas Rasyid itu tidak hanya dirasakan pula oleh mereka yang berkecimpung di bidang politik, ekonomi, dan di lembaga-lembaga pemerintahan daerah, tetapi juga di wilayah-wilayah kebudayaan lainnya, termasuk kesenian.

Tetapi, untuk lebih menegaskan lagi, tak bisa ditepis bahwa memang yang paling terasa adalah di wilayah-wilayah yang berpotensi dan berujung pada duit dan kekuasaan. Termasuk di antaranya wilayah yang berkaitan dengan urusan buruh migran Indonesia itu.

Maka, kita berharap semakin terdistribusikannya wewenang ’mengurusi’ BMI ke daerah akan membuat semakin banyak pihak lebih merasa punya tanggung jawab, dan bukannya menambah jumlah meja yang harus diselipi amplop. Bukankah begitu? Jadi, makin banyak yang ’mengurusi’ BMI itu maksudnya makin banyaklah yang ngopeni bukannya makin banyak yang ’’membuat BMI jadi kurus.’’ [bon-untuk media komunitas bmi-hk]

Sunday 18 January 2009

Belajar di ’Lapangan’

Beberapa waktu lalu (persisnya 25 – 29 Desember 2008) 5 orang pemuda dari Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, belajar bertani di ’lapangan.’ Lapangannya ialah Kelompok Tani Lo-Rejo dan Bangun Rejo yang memroduksi pupuk dan tanaman organik serta Kelompok Tani Silir Agung yang memanfaatkan lahan pasir untuk areal pertanian dan memiliki lembaga pelelangan hasil pertanian. Semuanya ada di wilayah Yogyakarta.


Setelah kira-kira sepekan sekembali mereka ke kampung halaman, beberapa orang petani di desa diundang untuk mendiskusikan oleh-oleh dari Yogya tersebut. Mereka sangat antusias mendengarkan pemaparan dari kelima orang pembelajar itu.

’’Jadi, kalau misalnya lombok (cabe, Red) mereka diserang cabuk (hama tanaman berupa jamur, Red), mereka menyemprotnya dengan kencing sapi, tidak perlu beli obat di toko. Kalau pengin sapi mereka gemuk, mereka membuat sendiri obatnya dengan menaruh nasi di ruas rebung yang sudah tumbuh sekitar 2 meter. Kalau tanaman mereka diserang tikus, mereka cukup mencari daun bengle dan daun pucung, lalu ditumbuk untuk disebar di tempat yang biasanya didatangi rombongan tikus itu.’’ Demikian antara lain yang dipaparkan di dalam pertemuan yang berlangsung hingga tengah malam itu. Dan para petani yang hadir pun berjanji untuk segera mencoba resep-resep itu.

Memang harus ditunggu dua atau tiga bulan lagi, hasil nyata dari studi atau belajar di ’lapangan’ itu. Tetapi, harapan makin besar karena para petani maju yang didatangi di Yogyakarta itu menjamin dan siap untuk didatangkan ke Dusun Nglaran jika ujicoba yang kini sedang berlangsung itu nanti ternyata gagal.

Ada yang cukup mengharukan malahan, yakni ketika kelima pemuda itu bertanya bagaimana caranya mendapatkan bibit padi atau tanaman organik lainnya, menurut cerita mereka, jawabannya adalah, ’’Kita ini petani. Ciri-ciri petani sejati itu ialah hidup secara gotong-royong. Kalau sampeyan perlu bibit, mau berapa, kami pinjami. Nanti kalau sudah ditanam dan kemudian panen, baru sampeyan kembalikan.’’ Lho, apa itu ora hebat?

Dan jangan lupa, kita boleh memegang kata-kata bahwa ilmu itu mahal harganya. Tetapi, ternyata itu bukan dalam pengertian bahwa kita tidak bisa mendapatkannya secara gratis. Buktinya ya kelima pemuda dari Dusun Nglaran itu. Tidak seorang pun narasumber di Yogyakarta itu yang minta bayaran. Lha, malah ada yang kecewa karena kelima pemuda itu tidak bisa berlama-lama. ’’Lha, apa yang bisa sampeyan dapatkan kalau menginap pun tidak?’’ katanya seperti ditirukan salah seorang di antara kelima pemuda itu. Tetapi, buktinya oleh-olehnya cukup banyak.

Nah, ternyata orang-orang sederhana tetapi hebat yang selalu siap menjadi dermawan ilmu seperti itu tidak hanya ada di Yogyakarta, dan tidak hanya berasal dari praktisi pertanian. Mbak Misti, mantan BMI Singapura yang kini sukses jadi juragan bordir di Malang itu juga pernah menantang, kalau ada sekelompok (sekitar 5 orang), terutama sesama mantan BMI yang mau meguru mbordir di tempatnya, ia akan dengan senang hati menerimanya. ’’Kalau sekali datang jumlahnya lebih banyak dari itu saya masih kesulitan dalam hal penginapannya,’’ kata Mbak Misti.

Cara magang atau belajar langsung di ’lapangan’ seperti itu tampaknya jauh lebih efektif, misalnya, dibandingkan dengan cara-cara yang selama ini dilakukan Disnaker Jatim, yakni mengundang sekian mantan BMI ke suatu tempat untuk diceramahi oleh narasumber yang juga didatangkan. Apalagi, misalnya narasumbernya ada 5 orang, 2 atau 3 di antaranya pejabat atau birokrat. Lhadalah! Bisa-bisa malah Jaka Sembung klambi lorek, gak nyambung, rek!


untuk majalah peduli edisi februari 2009

Saturday 10 January 2009

Untuk Apa Pameran Foto BMI?

MENJELANG akhir tahun 2007, sepulang dari Hong Kong (mengikuti rombongan Pemprov Jatim), muncul gagasan saya untuk menggelar acara pameran foto (foto-foto Hong Kong dan BMI) keliling Jawa Timur. Saya lalu bertanya kepada beberapa BMI-HK melalui SMS, email, dan telepon, apakah dulu ketika masih di penampungan (PJTKI) diberi penjelasan dengan media film atau minimal foto-foto yang memadai mengenai negara tujuan mereka. Ternyata jawabannya negatif: tidak. Jawaban itu semakin memperkuat niat saya. Lalu, saya ajak beberapa kawan, termasuk juga beberapa ornag mantan BMI-HK yang saya kenal untuk menggelar pameran foto itu.


Tentu diperlukan dana, walau tidak banyak, untuk mencetak foto-foto yang akan dipamerkan, untuk biaya transportasi ke/dari tempat pameran termasuk akomodasinya. Mungkin akan terlalu berat jika kami menanggungnya sendiri. Maka, kami coba mendekati pihak yang menurut kami seharusnya tertarik dengan gagasan tersebut. Jawaban yang kami dapat, sungguh luar biasa, ’’Untuk apa sih, pameran foto seperti itu?’’

Jawabannya bisa berderet-deret. Bisa kami katakan bahwa dengan pengetahuan –setidaknya melalui foto-foto—mengenai keadaan negara tujuan akan mengurangi tingkat gegar budaya (shock culture), akan membuat calon BMI makin mantap atau sekalian mundur sebelum berangkat, dan seterusnya.

Singkat cerita, beberapa kopi proposal yang sudah kami jilid rapi tetap menumpuk di atas meja sampai pameran pertama kami gelar. Lha, bagaimana? Orang yang kami kira akan jadi orang yang paling tertarik dengan gagasan pameran foto BMI itu ternyata memberikan reaksi yang sangat mengecewakan. Tetapi, dengan cara yang sangat sederhana dan dalam tempo yang tidak terlalu lama, digelarlah pameran foto Hong Kong dan BMI Kita itu di sebuah kampng terpencil di wilayah Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Lalu di beberapa tempat lain menyusul: Galeri Surabaya, Kampus Universitas Jember, Stadion Kanjuruhan Malang, dan di Tulungagung, bekerja sama dengan –ternyata masih ada—pihak-pihak yang peduli.

Adalah seorang laki-laki bernama Joko Waluyo, datang dari desa yang jauh untuk melihat foto-foto yang dipamerkan itu. Dan, ternyata, Mas Joko itu punya tujuan yang sebelumnya tak pernah kami duga. Ia sudah 9 tahun ditingal istrinya, pamitnya ke Hong
Kong, dan selama itu tak pernah berkabar sama sekali. Lebih dramatisnya lagi, Joko Waluyo cukup lama terpaku di depan sebuah foto, dan dengan bibir bergetar berucap, ’’Ini sepertinya istri saya, tapi saya tidak yakin benar…’’

Demikianlah, Mas Joko kehilangan istrinya. Dan hingga kini, kami juga merasa kehilangan pejabat yang tidak akan tega melontarkan pertanyaan, ’’Untuk apa sih, pameran foto seperti itu?’’

BONARI NABONENAR
Untuk Radar Taiwan edisi 2, Januari 2009

Thursday 1 January 2009

Bukan Sulap Bukan Sihir: Tletong Sapi Jadi Listrik

Suatu saat Dian Lili Hartati, BMI-HK yang asal Banyuwangai (ditulis sesuai ucapan orang etnis Osing) bercerita bahwa ia punya beberapa ekor sapi di kampung halamannya. Ely Hambaulina yang asal Ponorogo juga begitu. Ia percayakan sapi-sapinya untuk dipelihara adiknya, di sebuah kampung di Kecamatan Sumoroto, Ponorogo. Bersama rombongan, Peduli bahkan sempat melihatnya, sampai-sampai tak bisa pulang sesuai jadwal yang direncanakan karena dirintangi hujan angin yang sangat lebat.

Ini cerita tentang beternak sapi dengan segala rentetannya. Sampai saat ini masih sangat banyak orang beternak sapi hanya karena kepincut daging (penggemukan), susu (perah), dan dari perkembangbiakannya. Hasil sampingan berupa kotoran yang bisa dijadikan pupuk pun oleh para peternak tradisional sering diabaikan, karena pupuk sapi dinilai kurang baik, atau tidak sebaik kotoran unggas, kambing, dan lain-lain.

Lalu, datanglah teknologi pembuatan biogas untuk skala rumah tangga (selengkapnya baca: 12 – 16) yang dapat dibangun dengan bahan baku kotoran ternak maupun kotoran manusia. Ada pondok pesantren di Jawa Timur yang telah mengembangkan teknologi ramah lingkungan ini. Juga, perorangan/keluarga yang semula tidak tertarik menjadi tertarik, begitu melihat tetangganya tak lagi pusing membeli minyak tanah atau gas, bahkan bisa ’’terus terang’’ (tidak pernah bergelap-gelap) walau ada pemadaman listrik, karena biogas bisa dipakai sebagai sumber energi untuk menyalakan lampu. Bukan sulap bukan sihir, tlethong (kotoran) sapi bisa jadi (biogas) sumber energi listrik, kompor, dan lain-lain.

Inilah saatnya para petani/peternak menekuni usaha peternakan bukan hanya berhenti di peternakannya itu, tetapi juga melakukan upaya agar hasil yang dicapai bisa lebih optimal, membuka peluang untuk memperkokoh perekonomian keluarga di tengah-tengah krisis global seperti sekarang ini. Ini benar-benar bukan sulap bukan sihir. Biar harga BBM naik, biar mitan dan elpiji susah di dapat, biar listrik byar-pet, asal sapi masih bisa nlethong (buang kotoran), kita tidak perlu nyengir, alias tetap bisa tersenyum.

Ketika sebuah keluarga memiliki dua ekor sapi, lalu butuh uang mendesak, biasanya dengan gampang salah seekor atau kedua ekor sapi itu dituntun ke pasar. Tetapi, ketika keberadaan mereka terkait dengan instalasi biogas, ada pertimbangan memberatkan, ini: kalau sapi dijual, apalagi semuanya, dan untuk memasak mesti beli minyak tanah atau gas, apakah tidak semakin susah? Apalagi minyak tanah dan gas itu sering menyerupai siluman, cat katon cat ilang alias sering menjadi barang langka.

Wahai para pemilik sapi. Menjadikan tlethong sapi sebagai bahan baku untuk sumber energi alternatif sangatlah tepat. Yang belum punya sapi? Beli dong! Atau, bisa juga membuat biogas dengan ngising sendiri! [dari majalah peduli]