Tuesday 27 December 2011

Kewirausahaan untuk Melindungi TKI

Bonari Nabonenar*

Dalam acara Debat Calon Bupati melalui televisi pada suatu waktu muncul pertanyaan begini: ’’Ponorogo sebagai salah satu kabupaten yang mengirimkan banyak TKI ke luar negri tentu akan menerima kiriman devisa yang banyak pula. Jika anda terpilih menjadi pemimpin di kabupaten ini, apa yang akan anda lakukan untuk menyelematkan devisa itu, dan dengan demikian juga menyelamatkan para TKI itu agar dengan modal yang mereka peroleh mereka bisa mengembangkan usaha di kampung halaman dan tidak perlu terus ulang-alik ke luar negri?’’


Kalimat pertanyaan aslinya tidak persis seperti itu, tetapi begitulah intinya. Dan mari kita simak jawaban para kandidat. Ini pun tidak ditulis persis. Tetapi tidak mengurangi esensinya, dan tidak ada kata yang dilebih-lebihkan dalam kutipan berikut.

Salah seorang kandidat menjawab, ’’Pertama harus kita sepakati dulu bahwa masalah TKI ini adalah masalah pelayanan. Berangkatnya yang susah, ada banyak masalah. Itu yang harus kita selesaikan dulu. Perkara nanti kalau dapat duit, ya tentunya kita akan memfasilitasi agar mereka bisa berusaha. Itu kalau mereka mau. Kalau tidak mau ya biarin aja, wong itu duit-duitnya sendiri….’’

Kandidat berikutnya mengawali kalimatnya dengan beberapa kata yang terasa akan mengarah ke jawaban yang tepat, ’’Soal dana yang didapat para TKI ini kita memang perlu mengarahkan dan membina agar bisa dikembangkan sebagai modal usaha produktif, tidak sekadar membangun rumah mewah, tetapi mari kita investasikan sesuai dengan peluang yang ada di Kabupaten Ponorogo….’’ tetapi, sayangnya, ini jadi semacam kalimat tidak selesai karena disambung dengan kata-kata yang melebar ke perbankan dan peningkatan akses masyarakat umum termasuk selain TKI atau mantan TKI untuk pengembangan kewirausahaan, bukannya menawarkan contoh nyata kebijakan macam apa yang akan ditempuh nanti.

Kandidat ketiga menyatakan bahwa jawaban kandidat sebelumnya sudah bagus. Tetapi, tiba-tiba ia menukik, ’’cuman kalau menurut saya yang tidak bagus yang nanyak itu. Pertanyaan di TKI itu poinnya bukan di situ. Tetapi, perlindungannya dulu. Bagaimana TKI ini berangkatnya baik, bekerja baik, pulangnya baik. Ini koreksi untuk pertanyaannya dulu.’’ Lhadalah! Sungguh, jawaban yang sangat menjengkelkan.

Tulisan Ririn Handayani, Memutus Lingkaran Setan TKI (JP, 27/11) sangat bagus, dan itulah persoalan yang sepertinya kurang disadari para pemangku kepentingan/kuasa TKI selama ini. Urusan TKI adalah urusan manusia, adalah urusan multidimensi, dan karenanya akan terlalu berat jika dibebankan hanya kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan apalagi, maaf, dengan menteri yang ditunjuk hanya (?) karena harus mendapatkan jatah kursi berkat Partainya. Jika semua lembaga yang mengurusi manusia Indonesia berkoordinasi dengan baik mengurusi TKI kita secara sungguh-sungguh, tentulah urusannya tidak serunyam sekarang ini. Mungkin juga tidak diperlukan lembaga-lembaga ekstra macam komisi atau apa.

Tetapi, pertanyaan besarnya adalah: apakah kita, khususnya pejabat pembuat kebijakan kita menyadari bahwa mengirimkan TKI ke luar negri untuk menjadi pekerja industri dan terlebih lagi pekerja rumah tangga adalah kebijakan yang bersifat darurat? Apakah mereka punya target, misal 20 atau 25 tahun ke depan kita akan kokoh sebagai bangsa yang bisa benar-benar mandiri, dan tanpa aturan pelarangan pun tak akan ada lagi warga negara yang tergiur untuk menantang risiko sakit atau bahkan mati di luar negri karena di dalam negri sendiri sudah bisa bekerja dan hidup berkecukupan?

Jika kesadaran seperti itu ada, pastilah, tanpa mengurangi keseriusan penanganan persiapan pemberangkatan dan perlindungan TKI yang masih di luar negri, urusan mempersiapkan mereka menjadi entrepreneur di negri sendiri adalah sangat penting. Pastilah, tidak ada pejabat, apalagi seorang pemimpin yang dengan enteng melontarkan kalimat, ’’itu kan duit-duit mereka sendiri…..!’’

Konsumtif

Datanglah ke kampung-kampung TKI, dan Anda akan menemui pemandanagan yang mengagetkan. Rumah-rumah bagus, tetapi sepi, dan loket penukaran mata uang asing pun bertebaran di kota-kota kecil. Seorang teman di Blitar memberikan saran, ’’Jangan beli motor di Blitar menjelang lebaran,’’ karena biasanya harus inden, rela berlama mengantri. Begitulah, di Blitar, beli motor seperti beli baju saja. Enteng saja pakai motor-baru saat Lebaran. Bahkan, juga mobil, bersliweran di kampung-kampung.

Sebuah bank nasional menawarkan kredit rumah (mewah) seharga ratusan juta rupiah di setengah halaman warna sebuah koran bulanan yang dicetak dan diedarkan untuk komunitas pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong. Industri/ pedagang furniture, motor, dan barang-barang elektronik di tanah air pun menyebarkan brosur penawarannya di Hong Kong. Jadi, para pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong itu bisa bertransaksi jual-beli di Hong Kong, dan tinggal tunggu kabar dari kampung bahwa barang-barang yang dibeli itu sudah terkirim ke rumah. Bukan hanya barang-barang kasatmata berkait kebutuhan rumahtangga sehari-hari. Benda-benda azimat dan bahkan tuyul pun konon diperjualbelikan pula dengan cara transaksi modern seperti itu.

Biasanya TKI pulang kampung dan membeli barang-barang konsumtif dengan penuh nafsu. Akibatnya, mulai enam bulan pertama, satu per satu barang-barang baru pun kembali terjual. Pada ujungnya, tak ada lagi pilihan: kembali lagi ke luar negri. Begitu berulang-ulang, sampai tua. Mereka seperti sisipus yang dikutuk para dewa dalam mitos Yunani Kuno. Pemerintah yang tak hanya memburu kepentingan sesaat harus punya program yang nyata untuk memutus kutukan tersebut.

Sudahkah kita pernah mendengar, misal, sebuah kabupaten menyiapkan kawasan bisnis, membangun ruko-ruko murah untuk dikredit-kan kepada para TKI-nya, menyiapkan bengkel-bengkel kerja (workshop) untuk pelatihan kewirausahaan bagi suami/istri TKI yang ada di desa? Banyak orang keburu berpikir bahwa bantuan untuk para TKI/mantan TKI itu pertama-tama adalah uang dalam bentuk pemberian kredit dari bank. Padahal, pengembangan wawasan dan ketrampilan mereka jauh lebih penting. Kalau bank punya uang yang mau disalurkan, salurkanlah kepada mereka yang belum telanjur berangkat ke luar negri. Dan dampingilah mereka. ILO Jatim dapat menunjukkan beberapa koperasi mantan TKI dan komunitas mantan TKI yang didampingi dan menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan di Jawa Timur. Komunitas TKI/Mantan TKI yang sukses didampingi pemerintah, mana?

Inspirasi

Sesungguhnya ada cukup banyak kisah keberhasilan mantan TKI, yang di kampung halamannya sukses mengembangkan usaha. Ada yang menjadi petani sukses sambil menjadi dosen, ada yang menjadi pengusaha bordir dan menyerap cukup banyak tenaga kerja di sekitarnya, ada yang berhasil membangun perusahaan jasa travelling, dan bahkan ada pula yang mendirikan PJTKI. Kisah sukses mereka ini seharusnya dapat digunakan untuk menginspirasi para TKI. Bisa mulai diperkenalkan kepada para calon TKI di barak penampungan/pelatihan sebelum keberangkatan mereka, kepada para TKI di negara tempat mereka bekerja, dan kepada para mantan TKI. Tampaknya hal bagus ini belum dilakukan. Saya pernah menghadiri workshop kewirausahaan yang diselenggarakan Disnaker Jatim, seoraang mantan TKI yang sukses diundang pula. Tetapi, saya melihat upaya ini belum optimal.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pernah pula memberikan penghargaan tahunan kepada para TKI sukses. Tetapi, entah karena apa, kegiatan yang sangat baik itu tidak berlanjut. Jawa Timur sebagai provinsi yang terbanyak mengirim TKI (dari sekitar 130.000 pekerja rumah tangga asal Indonesia di Hong Kong, 80% di antaranya berasal dari jawa Timur) pun sepertinya belum tertarik untuk menyelenggarakannya.

Lagi-lagi, ini momentum yang baik untuk bersama-sama berbuat bagi bangsa, melalui kepedulian terhadap para pejuang ekonomi bangsa yang kita sebut TKI itu. Mari bertindak sekarang juga, atau kita mau kembali kecele, ketika para TKI itu membuktikan, menyodorkan pemandangan nyata ke depan mata kita, bahwa sesungguhnya hanya mereka sendirilah yang bisa berbuat, bahkan untuk kita, sedang kita hanya plonga-plongo saja ketika menyaksikan, misalnya: ratusan juta rupiah mengalir dari keringat para TKI kita (dari Hong Kong saja) untuk para korban bencana Merapi, Lapindo, Gempa Bantul (Yogyakarta), dan lain-lain, ketika melalui komunitas-komunitas penulis di Hong Kong, para TKI kita telah membangun proyek kebudayaan, gerakan literasi, yang, jika diuangkan melalui APBD/APBN bisa bernilai triliunan rupiah! Nah, lho!*

Keterangan Foto: Para Perempuan Pekerja Migran asal Indonesia sedang menikmati hari libur mereka di Victoria Park, Hong Kong

[FOTO: MICHA OBOEDENY]

0 urun rembug: