Sunday 25 December 2011

Agar Tak Jadi Kongres Omong Kosong

Menyongsong KBJ V (Surabaya, 27 – 30 Nov. 2011)

Kongres Bahasa Jawa akan digelar untukk kelima kalinya, dan karena itu selanjutnya disingkat KBJ V, akan diselenggarakan di Surabaya padha akhir November ini (27 – 30). Walau kritik tak seheboh menjelang KBJ IV (Semarang, 2006) sesungguhnya masih banyak orang pesimis, apakah proyek bernilai miliaran rupiah ini akan diikuti tindak lanjut yang sungguh-sungguh bermakna bagi (pertumbuhan dan perkembangan) bahasa Jawa itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, dalam beberapa kali kesempatan rapat, Sekretaris Panitia yang juga Kepala Bagian Kebudayaan dan Pariwisata, Biro Administrasi Kemasyarakatan, Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur Drs. H. Hizbul Wathon, MM. meminta agar KBJ V ini dikawal oleh semua pihak tidak hanya sampai pada keberhasilan pelaksanaannya, melainkan hingga tindak lanjutnya. Memang, keberhasilan kongres harus dinilai dari: tindak lanjutnya, bukan dari kemewahan, kemeriahan, keserbagemerlapan kongres itu sendiri, walaupun, dalam beberapa kali rapat panitia, justru kekhawatiran akan gagal menggelar perhelatan lima tahunan ini yang lebih dominan mencuat.

KBJ V yang mengusung tema ”Bahasa dan Sastra Jawa sebagai Sumber Kearifan bagi Pebentukan Watak dan Pekerti Bangsa” bisa jadi pertaruhan terakhir, untuk kembali menimbang apakah proyek tiga daerah (Pemprov Jateng, Pemprov Jatim, dan Pemprov DIY) ini memang layak diteruskan sebagai agenda rutin 5 tahunan, ataukah lebih baik dihentikan saja –seruan yang makin menguat menjelang KBJ IV, 2006 lalu. Di sinilah pentingnya dicatat ajakan Pak Hizbul itu. Jika dalam 3 – 4 tahun mendatang suasananya adhem-ayem saja seperti setelah KBJ yang sudah-sudah, tidak terbayangkan, kalimat atau mantra mana lagi yang akan dilontarkan untuk memulihkan harapan masyarakat, sehingga KBJ VI kelak bisa diselenggarakan di Yogyakarta (sesuai gilirannya) tanpa hujan olok-olok. Tampaknya janji yang dikemas dalam retorika paling apik pun tak akan laku lagi. Maka, tidak ada lagi pilihan, setelah KBJ V ini segenap pemangku kepentingan, pemerintah dan masyarakat, harus berani melakukan hal-hal yang lebih berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan bahasa dan sastra Jawa.

Tindak lanjut dimaksudkan di sini bukan hanya hal-hal yang sudah menjadi kegelisahan umum, misalnya menyangkut pengajaran: [1] ketersediaan guru (bahasa Jawa) yang berkualitas, [2] tersedianya ruang waktu/jam pelajaran yang cukup di sekolah. Sebagai catatan tambahan, [a] sering muncul keluhan mengenai kualitas guru bahasa Jawa di sekolah, karena dalam banyak kasus, mata pelajaran tersebut dibebankan kepada guru yang bukan fak-nya; [b] ketika pelajaran bahasa Jawa dimasukkan ke dalam kategori ”muatan lokal” ternyata juga sering diisi pelajaran teori/praktik komputer atau yang lain. [c] salah satu rekomendasi KBJ IV (?) bahwa pelajaran bahasa daerah (Jawa) akan diajarkan hingga tingkat SMU (dan sederajat) ternyata hanya ditindaklanjuti oleh Pemprov Jawa Tengah saja; [d] sering terjadi juga, menurut Sucipto Hadi Purnomo, jurnalis yang juga dosen Jurusan Bahasa Jawa Unnes, jam pelajaran bahasa Jawa di sekolah-sekolah ”dirampok” oleh bidang studi lain yang gurunya diwajibkan mengajar setidaknya 24-26 jam pelajaran dalam seminggu setelah tersertifikasi.

Dan masih banyak lagi persoalan pengajaran bahasa Jawa, sehingga kira-kira kalau mau dibahas hingga tuntas, waktu efektif kongres yang 3 hari itu pun tidak akan cukup.

Tanpa kongres pun, seharusnya persoalan-persoalan berkaitan dengan pembelajaran bahasa Jawa di sekolah bisa diselesaikan oleh instansi terkait, terutama Dinas Pendidikan, yang, apa lagi sekarang –dikaitkan lagi dengan ”Kebudayaan”. Saya justru lebih tertarik untuk menyerukan hal-hal yang tak punya ”payung” untuk sampai pada rekomendasi/keputusan dan pada akhirnya kebijakan yang diaplikasikan di luar hal-hal yang secara normatif lebih sering dibicarakan dalam forum-forum resmi.

Ketika suatu saat mendapatkan kesempatan sebagai pembicara di dalam Rapat Koordinasi menuju KBJ V, misalnya, saya beranikan diri untuk melontarkan pernyataan, ”Bagi saya, tidak begitu penting lagi apakah pelajaran bahasa Jawa diberi jam yang banyak atau tidak di sekolah-sekolah, sejauh setiap sekolah yang masih ada di lingkungan masyarakat Jawa masih memiliki fasilitas untuk bermain karawitan, bermain ketoprak, ludruk (kegiatan ekstra kurikuler), dan terutama didukung oleh perpustakaan yang dipenuhi juga dengan buku-buku karya sastra Jawa dan terbitan berkala berbahasa Jawa, itu sudah sangat cukup.

Kegiatan-kegiatan lomba penulisan, lomba nembang, termasuk lomba baca guritan seharusnya juga menjadi agenda rutin untuk para pelajar, mahasiswa, dan pengarang sastra Jawa dari tataran institusi (semisal: sekolah/kampus), lokal, regional, bahkan internasional dengan iming-iming hadiah yang pantas. Dengan demikian generasi muda akan kenal dan kemudian merasa perlu, bahkan penting untuk memiliki ketrampilan berkaitan dengan pemakaian bahasa Jawa.

Yang lebih penting lagi adalah ketersediaan media yang sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai laboratorium pembelajaran bahasa dan sastra Jawa bagi generasi muda. Memang ada rubrik ”Sinau Ngarang” di majalah Jaya Baya. Tetapi, itu pasti jauh dari memadai. Pasti bukanlah hal yang susah jika salah satu saja di antara tiga daerah (DIY, Jateng, Jatim) mau berkomitmen untuk memerhatikan persoalan pewarisan nilai-nilai budaya Jawa kepada generasi muda dengan memberikan dukungan sepenuhnya bagi penerbitan majalah berbahasa Jawa bagi kaum muda, terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Semoga ini bisa digiring menjadi janji bersama untuk membuktikan bahwa KBJ bukan hanya omong kosong.

Kalau ada perjanjian tertulis bahwa setiap sekolah, baik swasta maupun negri berlangganan 1 eksemplar saja majalah yang bisa diterbitkan sekali sebulan itu (dengan harga tidak sampai Rp 25 ribu/eksemplar) pastilah ada pihak swasta yang bisa digandeng untuk menerbitkannya. Persoalannya, kembali lagi, adalah: komitmen kita! (Bonari Nabonenar, Ketua Panitia Konggres Bahasa Jawa III, juga bagian dari Panitia KBJ V. Tulisan ini adalah pendapat pribadinya).

KETERANGAN FOto: Pasewakan adalah antologi guritan dan crita cekak yang diterbitkan Panitia Konggres Sastra Jawa III, juga menjadi cindera mata bagi peserta KBJ V.

--Tulisan ini dengan sedikit editing, termasuk pada judul, pernah dimuat Jawa Pos.



0 urun rembug: