Wednesday 5 November 2008

Koran Dinding Kampung (2): Tenaga-tenaga Muda di Sekitar Kita


Ada anjuran yang sangat baik, ’’Janganlah kesusu bertanya apa yang seharusnya Anda terima, tetapi bertanyalah lebih dahulu: apa yang bisa Anda berikan.’’ Apa yang bisa diberikan/diperbuat oleh kaum muda?
Di antara kita banyak tenaga-tenaga muda. Muda usia. Ada yang menyebut dengan remaja. Ada yang menyebut dengan istilah pemuda (termasuk pemudi, lho! –Red). Ada orang yang dengan nada kelakar alias guyon mengatakan bahwa remaja itu manusia tanggung. Maksudnya, mau disebut anak-anak kok secara fisik sering malah lebih gedhe daripada orang dewasa, tetapi kalau mau disebut dewasa kok belum cukup syarat untuk itu, antara lain dalam hal luasnya wawasan hidup, banyaknya pengalaman, dan sebagainya. Maka, sebenarnya kita tidak perlu terlalu sedih jika mialnya tidak dilibatkan dalam rembug/petung tuwa. Bukankah kita sudah diberi wadah sendiri, yang di tingkat desa misalnya dengan adanya organisasi Karang Taruna? Bukankan Pemerintah sudah mengangkat seorang menteri yang diberi amanat khusus untuk mengurusi Pemuda (dan Olahraga)?


Kita sudah dipikirkan, dan Pemerintah sudah melakukan banyak hal untuk kita, untuk pemuda. Jika kita merasa belum ada apa-apa yang sampai pada kita, mungkin itu hanya persoalan antrean, persoalan giliran, ata persoalan sistem komunikasi, dimana kita kurang jeli, kurang membaca, dan kalau banyak nonton televisi pun yang kita tonton bukanlah acara-acara yang bersifat informatif, melainkan acara-acara yang sebenarnya sering memperbodoh macam sinetron horor atau percintaan yang asal-asalan itu.

Maka, marilah kita bersama-sama bertanya sekarang: Apa yang dapat kita berikan, apa yang dapat kita perbuat untuk diri kita masing-masing dan kemudian untuk lingkungan kita?

Pada garis besarnya, marilah kita lakukan hal-hal yang baik yang bermanfaat bagi diri dan linggkungan kita, sehingga cita-cita yang digantungkan oleh para orangtua kita: --agar kita menjadi manusia yang berguna bagi agama, keluarga, nusa dan bangsa—itu tidak sekadar menjadi mantra (doa) yang makin hari makin pudar maknanya.

Dahulu, orang-orang seusia kita harus bertaruh nyawa, memanggul senjata, bahkan senjata seadanya, untuk mengusir penjajah yang bersenjata modern. Dahulu, orang-orang seusia kita dari berbagai suku, golongan, agama, berkumpul hingga lahirlah Sumpah Pemuda yang menjadi tonggak sejarah bersatunya kembali Nusantara (Indonesia) yang pernah dicerai-beraikan bangsa asing (penjajah). Mereka adalah pemuda yang pantang menyerah, kaum muda yang tak pernah berpikir dua kali, tak pernah ragu untuk: BERBUAT BAIK.

Ayo! Jangan biarkan diri kita kelak dicatat oleh sejarah sebagai generasi loyo! Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Ketika pertanyaan itu mulai ada di benak kita, yakinlah, kita sudah berada di langkah pertama untuk ’’berbuat baik’’ untuk tidak menjadi generasi loyo. [bonari nabonenar]

0 urun rembug: