Friday 19 September 2008

Buku Neraka dan Terang Bulan


LUCU dan religius, itulah yang sepintas tertangkap pada sosok Sudjadi. Tak banyak yang mengenal nama ini. Sebab, pria ini lebih dikenal dengan nama Djadi Galajapo, pelawak yang sering tampil jadi MC itu. Belakangan, namanya lebih panjang, HM Cheng Ho Djadi Galajapo.

Pria kelahiran dusun Leker Rejo, Dadap Kuning, Cerme, Gresik, itu kemarin meluncurkan sebuah buku yang diberi judul Neraka Wail dan Kue Terang Bulan di Metropolis Room, Graha Pena. Buku yang ditulis Bonari Nabonenar dan Kurniawan Muhammad tersebut bercerita tentang perjalanan pelawak itu.

Karena yang punya gawe pelawak, yang datang juga banyak pelawak. Antara lain, Kartolo, Didik Mangkuprojo, Hunter Parabola, Adenan, dan rekan Djadi di Galajapo, Lutfi dan Insaf Andi Lah Yaw. Maka, kelakar dan ger-geran pun tak terhindarkan.

Selain mereka, hadir juga seniman dan budayawan Jawa Timur. Antara lain Kadaruslan, Sam Abede Pareno, Bonari Nabobenar, Suparto Brata, dan masih banyak lagi.

Sosiolog Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, dan aktor Republik Mimpi menjadi pembahas buku terbitan JP Books itu. Sedangkan Cak Kobar, pembawa acara Becak (Berita Kocak) JTV bertindak sebagai moderator.

Djadi memberikan sambutan pembukaan dengan pantun. ''Semongko siji sego dijangkepi. Seng teko dino iki, tak dongakno akeh rejeki,'' katanya disambut tepuk tangan undangan.

Sam Abede Pareno ikut memberi sambutan. Menurut dia, Jawa Pos punya andil dalam kelahiran Galajapo. Saat itu, sekitar tahun 80an, tak banyak pelawak Surabaya yang bisa berbicara di tingkat nasional. Karena itu, Jawa Pos mengadakan semacam audisi pelawak. ''Di situlah kita menemukan Djadi, Priyo, dan Lutfi,'' kata Sam, yang waktu itu redaktur Jawa Pos.

Ketiga orang itu, lanjut Sam, punya karakter kuat. Kemudian, muncul ide menggabungkan mereka dalam satu kelompok. ''Namanya Galajapo, singkatan dari Gabungan Lawak Jawa Pos,'' katanya.

Beberapa pelawak yang diberi kesempatan tampil, mengutarakan kesan-kesannya terhadap Djadi. Tentu saja lengkap dengan kelucuannya. Misalnya, Lutfi. Djadi, menurut dia, merupakan pribadi yang nekat. ''Tiap kali manggung, Djadi tak pernah gugup,'' katanya. ''Pernah, saya dan Priyo tak berani manggung duluan. Padahal, kami sudah ditunggu. Tapi, Djadi langsung bilang, dia akan tampil duluan. Dia memang tampil dulu, dan nggak lucu, karena memang kurang persiapan,'' lanjut Lutfi.

Dalam keseharian, Djadi sering bertingkah konyol. Tingkah itu terus berlanjut meski sudah menikah. Waktu itu, Djadi belum pernah merasakan durian. Kebetulan, di rumah mertuanya ada buah durian. ''Buah itu dimakan Djadi. Kaget enaknya rasa durian, Djadi langsung menelepon saya. Djadi bilang, aku baru ngrasakno enake duren. Aku mari mangan, nyolong nggone mertuaku,'' katanya.

Pelawak senior Kartolo juga memberikan kesan. Saat berjalan ke panggung, Djadi memberikan komentar pada guru lawaknya itu. ''Ini adalah pelawak senior yang sangat kondang dan sudah melanglang buana ke berbagai panggung. Guru dari banyak pelawak dunia,'' katanya. Kartolo perlahan mendekatinya.''Iku lambe opo kitiran,'' katanya.

Kartolo mengaku bangga dengan peluncuran buku tersebut. Sebab, itu langkah bagus bagi seorang pelawak. ''Saya juga mau meluncurkan buku. buku utang piutang,'' katanya disambut tawa.

Judul Neraka Wail dan Kue Terang Bulan itu, menurut Djadi, diambil dari pengalamannya. Saat masih muda, kakeknya melarang jadi pelawak. ''Dia bilang, mosok koen mudun masjid mari ngono ndagel,'' katanya.

Djadi disuruh berhenti melawak. Tapi, dia tetap melawak. Pernah, dia melawak ketahuan kakeknya. Djadi dimarahi, bahkan dipukuli. ''Wong sing ndagel iku panggone nang neroko wail. Aku gak gelem nduwe putu nang neroko wail,'' kata Djadi menirukan ucapak kakeknya.

Tapi, dia punya kiat. Tiap kali melawak, dia menyelipkan pesan-pesan dakwah. Suatu ketika, dari honor melawak dia belikan kue terang bulan. Suatu pagi, dia suguhkan kue tersebut sebagai teman minum kopi kakeknya. Sang kakek pun menghabiskan kue tersebut.

''Koen tuku terang bulan duweke oleh teko endi,'' tanya kakeknya. Djadi menjawab dari hasil melawak. Sebelum kakeknya marah, Djadi memeluk kakeknya dan berjanji, tiap kali melawak dia akan menyelipkan pesan-pesan dakwah. (aga/cfu)

Jawa Pos [Sabtu, 20 September 2008]

0 urun rembug: