Memasuki
dunia penulisan kreatif (baca: mengorbit dengan menulis puisi, cerita, dan/atau
esai) itu gampang-gampang susah. Gampangnya seperti apa, dan bagaimana pula
susahnya? Itulah yang hendak saya uraikan secara gampangan, khusus bagi para
pemula (batasan gampangnya: belum lebih dari 10 kali menjebol gawang redaktur media
cetak sekaliber koran nasional). Jika anda bukan lagi penulis pemula, sebaiknya
limpahkanlah hak anda untuk membaca tulisan ini kepada adik-adik atau sesiapa
yang ada di sekitar anda –yang masih berada dalam batasan: pemula –seperti
rumus tadi.
Sampai era
awal tahun 1990-an, jika anda tinggal di ibukota kecamatan yang jauh dari pusat
kota/kabupaten, mengakses media cetak, terutama edisi Minggu yang membentangkan
halaman seni/sastra/budaya, sungguh susah. Bahkan kalaupun anda tinggal di
pusat kota, berlangganan sekian banyak media cetak tentu akan berat di kantong,
atau setidaknya di dalam perasaan. Beberapa orang penulis malahan,
mengantisipasinya dengan berlangganan penuh untuk satu harian pilihan dan
beberapa lainnya dibelinya hanya terbitan hari Minggu-nya. Buku-buku fiksi pun
nyaris hanya bisa diakses dengan mendatangi toko-toko buku di kota-kota besar.
Cerita ini dapat diperpanjang, tetapi rasanya bisa dihentikan di sini.
Terutama
untuk tulisan jenis puisi, dahulu masih ada redaktur yang bersedia menerima
tulisan tangan, sejauh tulisannya bukan seperti yang dapat kita temukan di
resep dokter. Tetapi, untuk naskah cerita pendek dan apalagi novel (untuk
dimuat bersambung) redaktur akan menuntut tulisan dengan mesin ketik. Salah
satu susahnya menulis dengan mesin ketik adalah: mesti siap cairan penghapus,
dan setiap terjadi kesalahan kita mesti dengan cermat me-mblok kata yang salah
tulis dengan cairan itu, menunggu barang semenit untuk mengulangi mengetik.
Bukan mustahil, seorang penulis harus mengetik ulang 2 – 3 kali untuk sampai
pada hasil yang memuaskan dan layak dikirimkan ke alamat redaktur.
Saat naskah
sudah terketik rapi bukan berarti perjuangan selesai. Untuk sampai di meja
redaktur, naskah itu harus dikirimkan. Jika tidak dapat mengantarkannya
langsung ke alamat, kantor pos adalah nyaris satu-satunya pihak yang dapat
mambantu, tentu dengan imbalan seharga perangko, yang akan diitung berdasarkan
kategori berat barang/naskah dan alamat tujuan. Harga perangko memang tidak
mahal, jika kita hanya mengirim satu naskah dalam sepekan. Ada yang menyiasati
penghematan dengan cara mengirimkan naskah secara terbuka (tanpa amplop), atau
mengiris salah satu sudut amplop agar isi di dalamnya dapat dilihat, dan
kemudian membubuhkan tulisan: ”Barang Cetakan” –biasanya dituliskan dengan
huruf kapital.
Itu sebagian
kecil pernik-pernik kerumitan yang hanya dapat dihayati oleh mereka yang
melewati masa-masa kreatif di era sebelum awal 1990-an. Kesulitan-kesulitan itu
sekarang sudah jadi kisah masa lalu. Teknologi komunikasi yang sedemikian pesat
kemajuannya menawarkan kemudahan-kemudahan, cenderung memanjakan. Ketika
gagasan melintas, kapan dan di mana pun, kita dapat segera mencatatnya
menggunakan ponsel pintar, mau mengetik tinggal buka laptop, untuk
perbaikan/penyuntingan tinggal tekan tombol, tidak perlu cairan penghapus dan
pengetikan ulang. Bahan-bahan rujukan juga banyak tersedia secara daring (dalam
jaringan = online), bahkan Kamus Besar Bahasa Indonesia pun sudah
tersedia daring-nya.
Untuk
pengiriman naskah, kita boleh melupakan kantor pos. Sebab, banyak redaktur
justru lebih memilih kiriman naskah melalui posel (pos elektronik). Pengiriman
naskah dalam bentuk surel (surat elektronik) jauh lebih praktis, lebih murah,
dan lebih cepat dibandingkan dengan pengiriman melalui kantor pos.
Salah satu
buah kemajuan teknologi komunikasi adalah menjamurnya media jejaring sosial
yang melahirkan pula grup-grup yang beranggotakan orang-orang yang memiliki
ketertarikan, hobi, profesi yang sama. Media daring menyediakan banyak pilihan
bagi kita untuk menerbitkan laman pribadi tempat kita dapat mengunggah
tulisan-tulisan, foto, bahkan video. Dari kamar kos yang sempit pun kita bisa
segera mengunggah karya-kara kita agar diketahui publik tanpa batasan ruang.
Media jejaring sosial seperti Facebook juga memungkinkan kita
mengunggah karya-karya lama atau karya terbaru, dan sekaligus terhubung bukan
hanya dengan sesama penulis pemula, melainkan juga dengan para senior.
Segeralah
bergabung dengan grup-grup pecinta sastra, cerpen, puisi, dan bangunlah
komunikasi personal secara intens, terutama dengan mereka yang menurut anda
atau menurut banyak orang sudah dapat disebut senior. Lalu, datangilah berbagai
acara ”jumpa darat,” manfaatkan setiap peluang untuk unjuk kebolehan baca
puisi, cerpen, dan buatlah semakin banyak puisi, cerpen, untuk disertakan dalam
proyek ”antologi bersama,” yang gratis maupun yang berbayar.
Jika jejaring
pertemanan anda di dunia maya sudah cukup luas, bahkan anda tidak dilarang
untuk menyelenggarakan acara, misalnya mengundang para penulis dari berbagai
kota untuk acara pementasan sastra, dalam rangka apa, atau tidak dalam rangka
apa-apa. Acara seperti itu bisa diawali dengan atau tanpa menerbitkan antologi
bersama. Biaya bisa ditanggung bersama, dan setelah acara sukses terselenggara
kredit poin anda sudah bertambah. Uraian biodata yang dapat anda buat menyertai
karya-karya anda pun akan semakin panjang. Dan itu bisa tampak semakin gagah. Nama
anda pun pasti akan semakin berkibar. Gampang, bukan?
Lalu,
susahnya di mana? Yang sering tidak diduga-duga oleh para pemula dalam dunia
penulisan adalah bahwa, kritik itu amat-sangat pahitnya. Banyak pemula bertumbangan
gara-gara kritik yang pahit, yang pada saat bersamaan membuat sebagian kecil
pemula malahan semakin terpacu untuk maju. Banyak pemula lalu membenci
pengritiknya, bahkan melabraknya secara membabibuta, kemudian surut, makin
tersudut, dan pada akhirnya padam.
Kepintaran
anda memilih teman di dalam jaringan, memilih grup yang aman, dapat
mengindarkan anda dari kepahitan-kepahitan kritik. Dengan demikian anda akan
gampang melejit secara aman, cepat mengorbit. Tetapi, jika cara begini yang
kita pilih, peluang terbesar bagi kita adalah mengorbit di garis edar yang
salah! []