Friday 30 May 2008

WASPADALAH…!

Siang hari bolong itu 5 orang anak, usia mereka rata-rata sekitar 10-an tahun memasuki sebuah warnet (warung internet). Mereka segera membentuk 2 kelompok dan ambil tempat di depan 2 buah komputer bersebelahan. Satu unit komputer untuk 3 orang, dan dua orang lainnya di depan komputer di sebelahnya. Mereka segera larut dalam keasyikan. Sesekali meletus tawa bersama, tawa yang sangat terasa kalau ditahan sedemikian rupa. Yang lebih sering terdengar adalah bisik-bisik di antara mereka. Tentu tidak jelas apa yang mereka bisikkan, namanya juga bisik-bisik.

Orang-orang yang ada di sekitar mereka yang notabene adalah sesama pelanggan warnet hanya tahu, mendengar, bahwa mereka berbisik-bisik, dan kadang merasa terganggu. Sekitar sejam kemudian mereka keluar bersama-sama, dengan binar yang agak aneh di wajah mereka. Tidak ada dokumen yang mereka ambil/bawa baik dalam bentuk file maupun print-out seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak sekolah, mahasiswa, atau pelanggan warnet lainnya. Kita boleh menduga, mereka telah menikmati pemandangan: gambar dan atau film cabul. Mereka adalah anak-anak kita, atau adik-adik kita.

Lalu, keprihatinan pun mengental. Para orangtua, dan bahkan Pemerintah pun ikut prihatin karena setelah untuk sekian lama bertengger di papan atas sebagai bangsa yang paling korup, belakangan juga dirilis hasil survei yang menunjukkan bahwa sebagai bangsa kita juga tergolong paling rakus mengakses kecabulan melalui internet. Dana trilyunan rupiah konon habis untuk memulai peperangan dengan apa yang disebut sebagai pornografi.

Begitulah, kemajuan teknologi komunikasi yang antara lain ditandai dengan munculnya sarana internet bisa membawa manusia ke dalam tingkat kemajuan dengan percepatan yang sungguh luar biasa, tetapi pada saat yang sama juga berpotensi menjerumuskan ke jurang sedalam-dalamnya. Ia seperti Cupu Manik Astagina yang diwariskan Dewi Windradi (istri Resi Gotama) kepada anak peremuannya: Dewi Anjani. Lalu Dewi Anjani menggunakannya untuk hal-hal negatif, untuk chatting dengan para ’dewa’ pujaan hatinya. Dua orang saudara laki-lakinya iri dan berusaha merebutnya. Sang ayah, Resi Gotama, merasa cemburu dan cepat mengambil Cupu Manik Astagina itu lalu membuangnya jauh-jauh, hingga jatuh dan menjelma telaga. Tiga orang bersaudara yang sangat bernafsu menguasai cupu itu mengejarnya, hingga ke tengah telaga. Di telaga, mereka bertiga berubah menjadi kera.

Kita, Pemerintah, melalui Kementerian Informasi dan Komunikasi, rasanya tak mungkin bisa bertindak seperti Resi Gotama. Buktinya, baru Youtube dan Multiply saja ditutup, banyak orang –yang memanfaatkannya untuk hal-hal positif semisal promosi produk— berteriak-teriak karena merasa dirugikan. Akhirnya, kini kedua situs itu bisa diakses kembali dari Indonesia. Kita tidak bisa membuang cupumanik internet itu, yang bisa kita lakukan adalah mewaspadai penggunaannya, berhati-hati dalam memanfaatkannya.

Kewaspadaan dan kehati-hatian itu bisa berupa: tidak terlalu gampang memfasilitasi adik-adik, anak-anak, misalnya dengan handphone, MP4, MP5. Kalau kita memberikan handphone untuk anak-anak, misalnya dengan alasan agar mudah mengontrol mereka, apakah harus handphone yang dilengkapi kamera dan perekam adegan yang kita berikan? Itu hanya sekadar contoh.

Sudah cukup banyak anak sekolah, mahasiswa, yang harus berurusan dengan kepolisian di Indonesia gara-gara adegan cabul mereka direkam dengan handphone dan beredar luas di masyarakat. []

Intermezo edisi april 08

Saturday 24 May 2008

Cangkrukan “Sastra Jawa” bareng Pak George Quinn

Layang Setrum saking Pak George Quinn:

Pak Bonari ingkang kinurmatan, Kula remen sanget menawi dinten Senen dalu, tanggal 2 Juni, saged sapepanggihan kaliyan panjenengan, Bapak Amir Mamud tuwin kanca-kanca PPSJS wonten ing Balai Bahasa Surabaya.

Kula ngentosi rawuh panjenengan wonten ing Hotel Majapahit watawis jam 18.00. Kinten-kinten mawi acara ingkang kados pundi inggih? Kula gadhah pitakenan werni-werni bab pangrembakanipun basa lan sastra Jawi ing Jawi Wetan wekdal semangke. Menapa saged sami wawan rembag soal menika? Matur nuwun panjenengan kersa dipun repotaken ngurusi pepanggihan menika.

Many thanks and nuwun.

George


Layang setrumku:

Pak George Quinn ingkang kinurmatan,

kala wau siang kula rembagan kaliyan Bapak Drs. Amir Machmud, MPd (Kepala Balai Bahasa Surabaya). Wosipun: Balai Bahasa Surabaya remen bilih mangke tgl 2 Juni wanci dalu panjenengan keparing dipunpethuk (dijemput) di hotel untuk acara pertemuan dengan kawan-kawan PPSJS dan para peneliti dari Balai Bahasa Surabaya).

Mbokbilih wancinipun watawis jam 18.00 - watawis jam 20.00. Sasampunipun xcekap rembagan, pepanggihan,panjenengan dipundherekaken ngangge mobil dinasipun
Balai Bahasa Surabaya tumuju hotel.

Menawi kepareng makaten, mangke kula enggal badhe ngulemi kanca-kanca PPSJS.

Nuwun,

Bonari

Saturday 17 May 2008

Ketika Harga BBM Naik


Tak lama lagi, Pemerintah akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat. Belakangan ini para pengguna kompor minyak di perkotaan juga ribut soal konversi BBM ke BBG. Dari bahan bakar minyak ke bahan bakar gas. Ada yang ribut karena merasa pembagiannya tidak merata, ada yang meributkan kualitas tabung gas ukuran 3,5 kg yang dibagikan secara gratis agar masyarakat yang selama ini memakai kompor minyak dengan senang hati beralih ke kompor gas. Keributan itu diselingi pula oleh kejadian ledakan tabung gratis di beberapa tempat. Kecelakaan berupa ledakan itu bisa disebabkan oleh kualitas tabung yang memang kuarang andal, bisa pula karena pengetahuan masyarakat tentang pemakaian kompor gas masih kurang.

Karena pasokan minyak tanah dikurangi, seiring dengan beredarnya sarana berupa kompor dan tabung gas itu, antrean pun terjadi di mana-mana. Tak sedikit pengantre yang baru mendapatkan 5 – 10 liter minyak tanah setelah setengah atau bahkan hampir sehari penuh mengantre. Nah, meminta secara sukarela atau apalagi secara paksa para jompo untuk mengantre minyak tanah pastilah tidak manusiawi. Maka, bisa dibayangkan, betapa banyak orang usia produktif harus berhenti bekerja untuk bisa mengantre minyak tanah itu. Itung jumlah orang dan kalikan dengan jam kerja yang hilang demi 5 liter minyak tanah! Ini satu di antara sekian banyak persoalan yang timbul akibat kebijakan yang kesuksesannya baru tampak dalam hal: menghebohkan, itu.

Lalu, minyak tanah menjadi barang langka. Pak Tua yang biasanya melintas di depan rumah sambil teriak, ’’Nyaaaaakkkk…. minyaaaakkkk…!’’ itu pun sempat ’libur’ untuk beberapa hari. Artinya, Pak Tua itu pun sempat kehilangan pekerjaan. Padahal, dapur harus ngebul setiap hari. Anak-anak mesti disekolahkan, dengan biaya yang makin mahal. Sekolah gratis? Prekethek! Omong kosong. SPP boleh dihapus, tetapi iuran untuk ini, itu, baju seragam, buku, ongkos transportasi, makin hari makin mahal juga. Kalau masih ada orang berseru, ’’Pendidikan murah, sekolah gratis… dan semacamnya,’’ omong kosong, kan? Bohong, kan?

Kang Jemangin bisa bersabar ketika tidak mendapat jatah kompor dan tabung gas gratis sementara semua tetangganya sudah mendapatkannya. ’’Syukurlah, mungkin keluarga saya tercatat sebagai keluarga yang lebih mampu dan dipandang oleh pemerintah tidak perlu diberi gratis,’’ komentar Kang Jemangin bijak. Tetapi, penyabar yang bernama Kang Jemangin itu pun ternyata bisa emosional pula ketika minyak tanah sempat lenyap dari peredaran.

’’Maunya pemerintah ini gimana ta? Minyak ilang. Gas juga ilang. Saya sudah beli kompornya, tinggal tabungnya. E, susahnya minta ampun. Di mana-mana dibilang gak jual tabung. Ada satu dua tempat yang jual, harganya berlipat tak masuk akal. Semprul tenan kok!’’ Lalu keesokan harinya koran-koran ikut meributkan, di Surabaya aparat kepolisian menemukan penimbun minyak tanah. Lalu di tempat lain ditemukan hal serupa. Begitulah ulah pengusaha ’kreatif’ yang benar-benar harus dihajar. Mereka mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Mereka tak lagi layak disebut spekulan. Spekulan itu orang yang melakukan tindakan untung-untungan. Kalau menyangkut minyak tanah, BBM, sekarang, tindakan menimbun itu bisa dipastikan bakal untung. Jadi, bukan untung-untungan. Nah!

Konon, Pemerintah pun merasa kejepit, berada dalam posisi sulit. Menaikan harga BBM , seperti pernah terjadi, selalu menambah jumlah orang miskin. Jadi, dalam waktu dekat ini, dipastikan akan banyak orang miskin baru. Apalagi, kalau bantuan langsung tunai (BLT) yang pernah dikucurkan untuk keluarga miskin beberapa waktu lalu --dan telah dihentikan—nanti dikucurkan lagi. Orang yang benar-benar miskin dan agak miskin akan beramai-ramai mendaftarkan diri mereka sebagai orang miskin.

Dalam soal teknis pun Pemerintah berhadapan dengan dilema. Bikin ancang-ancang dengan mengabarkan rencana kenaikan harga BBM itu memancing pengusaha menaikkan harga barang-barang lain, dan bahkan memancing ’usaha’ penimbunan secara ilegal. Kalau tak diumumkan jauh-jauh hari sebelumnya, nanti dibilang nggak ada sosialisasi. Repot, kan?

Orang Jawa punya peribahasa, ’’Ngglandang carang saka pucuk,’’ (menyeret ranting dari ujungnya). Artinya, urusannya bakal besar di belakang. Begitulah urusan menaikkan harga BBM ini. Sebab, jangankan ketika nanti benar-benar dinaikkan, sekarang pun harga barang-barang kebutuhan, sudah mendahului naik. Di Malang, pemilik sebuah toko bangunan mengaku bahwa harga semen setiap pekan naik Rp 500/sak. Berarti, dalam sebulan angka kenaikan itu akan menjadi Rp 2.000. Nah, bagaimana kenyataan seperti itu tidak memicu tindakan-tindakan penimbunan untuk menanguk keuntungan yang relatif besar?

Maka, jangan heran jika kelak akan menjamur usaha gelap penimbunan itu. Garam ditimbun, terasi ditimbun, bahan-bahan bangunan ditimbun. Jangankan barang, lho, sekarang ini, Anda mau lihat?- orang pun ditimbun! Orang hidup lho, kalau orang mati sih, kalau dikubur, ya ditimbun, pasti itu! Maka, ayo bikin puisi berjudul: Orang Menimbun Orang!

Harga BBM, saat tulisan ini dibuat belum secara resmi naik, memang. Tapi, tak lama lagi, tampaknya Pemerintah sudah tak punya pilihan lain. Dan ketika harga BBM benar-benar secara resmi naik, nanti, harga barang-barang lain sudah di awang-awang.

Akhirnya kita berharap, kalaulah benar-benar harga BBM terpaksa dinaikkan, Pemerintah hendaknya juga semakin serius menambal lubang kebocoran uang negara dengan cara semakin tegas menangkap para koruptor, serius dalam hal pengawasan, membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak semakin menindas orang-orang yang dibiarkan pun sudah tertindas.

Maka, janganlah lagi, lagi-lagi, kita disuguhi fakta: orang gantung diri karena kemiskinan, orangtua membakar anak-anaknya sendiri sebelum bakar diri jugakarena kemiskinan, tukang becak pingsan dan bahkan mati kelaparan, anak-anak kurang gizi berguran. Itulah berita, bukan kabar burung, yang seharusnya tak hanya membuat kita malu semalu-malunya, tetapi juga sedih sesedih-sedihnya, sebagai sebuah bangsa yang suka menggambarkan tanahairnya sebagai: gemah ripah loh jinawi.

*) Ditulis untuk Tabloid Intermezo edisi Mei 2008

Friday 16 May 2008

Siapakah ’Pelaku Pembunuhan’ Itu?

Sekitar pukul 09.49 WIB, rombongan ini melintas di wilayah Ngawi, Jawa Timur menuju Sragen, Solo. Namun saat berada di perbatasan Ngawi-Sragen, tepatnya di kawasan hutan Widodaren, sepeda motor besar yang tunggangi Sophan menghantam lubang besar. Seketika itu juga, sepeda motor tersebut oleng dan akhirnya terjatuh. [dari: detik.com]

Semoga arwah seniman yang juga politisi itu diterima di sisi-Nya. Banyak hal bisa dicatat dari kejadian ini. Salah satu di antaranya, adalah bahwa pihak mana yang memegang amanat membangun dan merawat jalan raya, dan membiarkannya rusak berlubang-lubang seperti itu, secara tidak langsung adalah ’’pelaku pembunuhan’’ atau terlibat dalam urusan ’hilang’-nya nyawa/jiwa orang, manusia, bukan hanya Sophan Sophiaan, tetapi juga sekian banyak jiwa yang lain. [pembaca peduli]

Menyaksikan Anak Gagap yang Kini Jadi Motivator *)


Setelah jeda cukup lama karena kelahiran bayinya, Natasya Ensa Motivani (3 bulan), Eni Kusuma (31) kembali menjalani profesinya yang baru hitungan bulan ditekuni menyusul penerbitan bukunya, Anda Luar Biasa!!!. Kali ini Eni tampil di hadapan para guru di bawah naungan Diknas Kabupaten Bojonegoro (Gedung Serbaguna Kab. Bojonegoro, Minggu, 20 April 2008).

Luar biasa, bersama Dr Ismet Basuki dari Unesa, di hari yang panasnya lumayan menyengat itu Eni harus berbicara di hadapan sekitar 1.000 orang guru! Bisa begitu banyak yang datang, tampaknya, karena ada iming-iming sertifikat yang kini sedang populer bersamaan dengan digalakkannya program sertifikasi guru.

Akibat membludagnya peserta, selain cukup banyak yang tak kebagian kursi, pendaftaran ulang, mengisi daftar hadir, pun memerlukan waktu lama, sehingga acara yang semula dijadwal mulai pukul 08.30 itu baru sekitar pukul 10.00 dimulai.

Eni dapat giliran bicara pertama. Sebagai motivator, Eni bertutur bagaimana dia ketika menjadi pekerja rumah tangga di HK bisa menyisihkan waktu untuk membaca dan menulis hingga menghasilkan buku pertamanya yang laku keras itu. Eni menilai, banyak orang kepengin bisa menulis tetapi tak kunjung menghasilkan tulisan karena beberapa hal, di anataranya: takut dikritik, merasa tak layak, dihantui teknik menulis yang dianggap baik dan benar. ’’Untuk menulis topik ini kan banyak yang lebih berkompeten daripada saya yang hanya Sarjana 1, bukankah yang sarjana 2 atau strata 2 saja tidak berani menulisnya?’’ lebih-kurang demikian Eni menyuarakan pikiran orang-orang yang diduganya terlalu minder untuk memulai menulis itu.

Eni yang hingga lulus SMA mengaku sebagai anak gagap biacara itu (ia baru belajar menghilangkan kegagapannya bersamaan dengan belajar berbahasa Kantonis di HK: ’’Saya merasa, orang akan menganggap karena saya belum lancar berbahasa Kantonis sehingga kalimat saya selalu patah-patah, dan perasaan demikian membantu saya untuk terus belajar tanpa rasa malu karena sebenarnya gagap,’’ akunya) pun berbicara cukup lancar, dan panjang, sehingga moderator harus beberapa kali mengingatkannya bahwa waktunya sudah habis.

Saking bersemangatnya berbicara, Eni tampaknya lupa bahwa di belakangnya ada moderator yang bertugas, antara lain mengundang penanya/penanggap setelah ia selesai berbicara. Eni mengundang sendiri peserta untuk bertanya. Ada 3 orang penanya. Penanya pertama perempuan, penanya berikutnya 2 orang laki-laki. Dua penanya terakhir itu, kalau boleh saya sampaikan dengan bahasa saya, intinya adalah, mereka menilai bahwa Eni Kusuma dapat menghasilkan banyak tulisan karena Eni menulis dengan mengabaikan teknik-teknik penulisan. [Hebatnya, tanggapan/penilaian semacam itu dilontarkan dengan entengnya oleh guru yang sebelumnya secara tidak langsung mengaku belum membaca tulisan/buku Eni Kusuma. Sebelum memulai menyampaikan paparannya Eni bertanya kepada peserta, siapa gerangan yang telah membaca buku Anda Luar Biasa!!! dan tidak seorang pun mengaku telah membacanya].

Materi tanggapan/pertanyaan orang ketiga mirip dengan yang telah dilontarkan penanya kedua. Penanya ketiga itu sempat menyisipkan pertanyaan apakah tulisan-tulisan seperti yang ditulis oleh Eni Kusuma, yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah itu bisa dinilai sebagai penambah poin fortopolio untuk mengikuti program sertifikasi guru, mengingat seminar sehari itu digelar dalam rangka merangsang para guru untuk bisa menulis demi peningkatan profesionalitas mereka. Lalu, sempat pula dilontarkan, apakah Eni masih akan meneruskan karirnya sebagai pembicara/motivator.

Pertanyaan terakhir itu tidak sempat terjawab oleh Eni yang tampak terlalu bersemangat dan agak bertele-tele menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya (terasa Eni agak emosional) sehingga moderator harus beberapa kali mengingatkan bahwa waktunya sudah habis.

Tetapi, saya cenderung menilai, bisa saja keliru, bahwa pertanyaan, ’’Apakah Eni akan meneruskan karirnya sebagai motivator/pembicara publik?’’ itu didorong oleh kesangsian akan kualitas pembiacaraan Eni, baik esensi maupun cara penyampaiannya. Penanya tanpaknya ragu, dan saya kira di dalam benaknya tersimpan pula pertanyaan begini, ’’Kalau hanya begini-begini, siapa lagi yang akan mengundangnya untuk jadi pembicara?’’

Saya pun jadi bertanya-tanya, apakah di hari yang terik itu Eni telah berbicara di tempat yang salah? Padahal, ketika berbicara di hadapan para profesional di bidang marketing di Jakarta, di forum yang di sana pernah berbicara pula orang-orang sekaliber Tung Dasem Waringin, Andre Wongso, dan Hermawan Kertajaya, Eni bisa tampil memukau, sehingga seorang peserta sempat menawarinya untuk berbicara dari kota ke kota di seluruh Indonesia.

Terasa bahwa para guru di Gedung Serbaguna itu lebih membutuhkan resep ces-pleng, resep jitu, untuk membuat naskah atau tulisan yang dituntut oleh program sertifikasi. Tentunya ini bukan tuntutan yang salah. Tetapi, orang hebat macam apakah yang bisa membuat para sarjana yang bukan penulis menjadi penulis yang andal hanya dalam sehari? Lihatlah jurusan-jurusan di berbagai perguruan tinggi yang menyekokkan ilmu menulis ratusan SKS kepada setiap mahasiswanya itu. Lalu, berapa gelintir mahasiswa yang lulus dan bisa menulis dengan baik? Budi Darma, dalam beberapa tulisannya, antara lain dalam Solilokui (Gramedia, 1982) dengan tajamnya mengritik para akademisi kita yang kebanyakan hanya bisa membuat mozaik, menjejer-jejerkan teori para pakar, mengutip-ngutip pendapat orang lain untuk tulisannya, dan sangat gagap ketika harus membuat simpulan, kedodoran ketika harus menganalisis. Lalu kita akan tahu pula duduk persoalannya, mengapa sedemikian njomplang perbandingan antara jumlah skripsi, tesis, dan bahkan disertasi yang dihasilkan oleh para akademisi kita dengan yang layak terbit sebagai buku.

Maka, paling tidak menurut penilaian saya, buku Anda Luar Biasa!!! yang ditulis Eni Kusuma itu lebih bernilai, lebih ilmiah, daripada skripsi ’mozaik’ yang dibuat oleh seorang mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjananya.

Bagaimana HK?

Bermcam-macam reaksi BMI-HK atas karya tulisan (buku) yang dihasilkan oleh sesama (atau mantan) BMI-HK. Ada yang sertamerta menyambutnya dengan antusias, senang, salut, dan tertarik untuk membaca dan memiliki bukunya, ada yang dingin-dingin saja, tetapi ada pula yang kurang atau bahkan tidak menghargai alias menyepelekannya.

Sebagai contoh, ketika memoar Rini Widyawati Catatan Harian Seorang Pramuwisma, yang oleh Dr Nalini pun dipuji sebagai karya yang hebat, sempat dikomentari seorang BMI-HK seperti ini, ’’Memang seperti itulah gambarannya BMI-HK. Bahkan ada yang lebih seru daripada yang diceritakan Rini. Aku membaca buku itu, dan enggak sampai habis, karena ya itu tadi, biasa bangetlah!’’

Terhadap Eni Kusuma pun saya sempat mendengar beberapa komentar miring dari kalangan BMI-HK. Misalnya begini, kalau saya katakan lagi dengan kata-kata saya, ’’Siapa sih Eni Kusuma itu? Kayaknya dia tidak pernah nongol di organisasi kepenulisan di kalangan teman-teman di HK, kok tiba-tiba dia sebegitu dielu-elukannya?’’ Lalu, ada pula yang berkomentar bahwa Eni Kusuma itu orangnya sombong, mungkin karena merasa telah jadi penulis hebat….’’

Benarkah demikian? Eni pernah bercerita bahwa waktu bekerja di HK ia hanya diberi libur sehari dalam sebulan. Itu pun biasanya ia habiskan di perpustakaan untuk mengetik ulang dan mengirimkan tulisan-tulisannya ke www.pembelajar.com, di situlah kini Eni jadi salah seorang kolumnis tetap. Lalu, saya kadang berpikir, jika Eni mesti membalas semua email yang ia terima, ia bisa kehilangan waktu untuk menuliskan artikel-artikelnya. Kalau ia mesti membalasi semua SMS yang ia terima, bisa jadi ia akan kehilangan banyak royalty yang mestinya ia terima, padahal kini ia tidak punya sumber penghasilan lain, selain dari tulisan dan ceramah-ceramahnya.

Lalu, sekarang coba, apakah Anda masih akan bertanya, siapakah Etik Juwita itu? Yang ’tiba-tiba’ cerpen Bukan Yem-nya masuk dalam buku 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008? Etik memang telah banyak menulis cerpen, dimuat di media cetak di Indonesia maupun di HK. Tetapi, dibandingkan dengan Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Indra Tranggono, Beni Setia, Ratna Indraswari Ibrahim, dan lain-lainnya itu, Etik masih boleh disebut pengarang atau cerpenis ’tiban’. Maksudnya, ia masih kencur kalau yang dinilai adalah ’’usia kepengarangannya.’’ Tetapi, untuk penilaian terhadap karya, jika jujur, justru harus sejauh-jauhnya dihindari pertimbangan ’siapa’ penciptanya, apakah orang baru ataukah orang lama.

Jika ada seorang BMI-HK yang kemudian jadi penulis hebat dan sertamerta juga menjadi congkak, sombong, dan sejenisnya, sebenarnya itu urusan lain. Kalau pun kita tidak menyukai kepribadiannya, cobalah kita berpikir ulang, apakah serta-merta kita harus pula membenci karyanya? Asal tahu saja, karya-karya mereka itu, diakui atau tidak, telah menanamkan andil yang sangat besar dalam mengubah pandangan orang (dari negatif ke positif), terutama masyarakat Indonesia terhadap BMI, khususnya BMI-HK. Nah!

Kita memang manusia. Omong kosong jika tidak memiliki rasa iri. Tetapi, kita bisa belajar untuk menekan rasa iri itu agar tidak tumbuh menjadi dengki. Masih banyak waktu dan arena tergelar sedemikian luasnya untuk berkompetisi. Marilah kita budayakan, meminjam kata-kata bijak orang saleh, ’’berlomba-lomba dalam kebaikan.’’ Membiarkan dengki tumbuh dan memupuk kebecian kepada orang-orang yang kepada mereka seharusnya kita belajar (atau setidaknya mengambil pelajaran dari mereka) hanya akan membuat kita jadi semakin kerdil. Percayalah! [Bonari Nabonenar]

*) dimuat di Majalah Peduli edisi Mei 2008, dalam versi lain dimuat di www.jawakini.com dengan judul Menggurui Guru sambil Membela Eni Kusuma.

Tuesday 6 May 2008

Pakde Karwo di Friendster


Langkah Sekdaprov Jatim Soekarwo mengenalkan diri ke publik menjelang pemilihan gubernur Jatim patut diacungi jempol. Bakal calon gubernur dari PDIP ini juga memanfaatkan media maya yang sedang digandrungi alias friendster.

Selain friendster yang saat ini lagi digandrungi semua usia, Soekarwo yang akrab disapa Pakde ini juga gencar mengkampanyekan diri melalui media outdoor reklame maupun pamflet.

Kabarnya friendster Pakde itu dibuat oleh anak kandung Pakde yang mengenyam pendidikan di Negeri Kanguru Australia. Desain friendster Pakde Karwo ini dominan warna merah jambu dan backgroundnya adalah gambar kartun Pakde berkopiah.

Dalam friendster itu terdapat foto Soekarwo dan di kolom Shoutout bertuliskan “DR Soekarwo (Pakde Karwo Calon Gubernur Jawa Timur. Ingat Tanggal 23 Juli 2008 Coblos Pakde Karwo)”. Dan di dalam layanan pertemanan populer tersebut juga terdapat foto-foto dirinya bersama istrinya Ny Nani Soekarwo semasa muda.

Pantauan detiksurabaya.com, Selasa (2/10/2007) malam, friendster milik Pakde ini sudah memiliki 181 teman. Berbagai komentarpun diberikan oleh kawan-kawan mayanya yang bergabung dalam jaringan pertemanan tersebut. Salah satunya komentarnya “Semooga Pakde Sukses”.

Pakde Karwo ketika dikonfirmasi anaknya yang menempuh pendidikan di Australia yang bernama Ferdian Timur Satyagraha. “Friendster itu inisiatif anak saya dan
teman-temannya anak yang kuliah di Australia,” ujarnya. (wln/gik)

Asline di detikDOTcom

Thursday 1 May 2008

Lah, Jorok, Gimana Mau Laris?

Dua orang laki-laki muda membuka warung tenda di pinggir jalan yang cukup ramai. Saya melihatnya setelah beberapa hari ke luar kota. Mungkin warung itu baru buka hari itu, saat pertama kali saya melihatnya, atau beberapa hari sebelumnya. Seperti sekian banyak warung tenda lainnya, menu andalannya adalah nasi sambal dengan lauk tempe, tahu, ayam, bebek, kepiting, dan lele goreng.

Saya yang tergolong berselera pemberani (maksudnya: suka makan pedas) pun penasaran untuk menyobanya. Kasihan, warung baru itu agaknya belum mendapatkan pelanggan. Hanya seorang dua orang saja yang datang, pun kadang hanya melongok dan segera balik kanan begitu lauk yang dicarinya tidak tersedia.

Saya pun tertarik mengamati karena, pikir saya, kedua laki-laki muda ini adalah orang-orang yang tak mau tinggal diam, sementara banyak laki-laki seusia mereka suka kebut-kebutan dengan sepeda motor pemberian orangtua mereka, ini malah berusaha. Berani menyoba berbisnis di saat mereka masih tergolong muda. Kira-kira seusia anak SMA-lah mereka. Sungguh membanggakan.

Tetapi, pelahan-lahan rasa bangga itu terkikis tatkala melihat potongan daging ayam dan bebek yang ada di nampannya, yang siap digoreng itu. Potongan-potongan dada, paha, sayap dan kepala itu tampak begitu jorok karena banyak bulu yang belum tercabut. Perut yang tadi terasa lapar pun mendadak tidak lagi kepengin makan.

Tambah lagi, salah seorang di antara mereka, merokok tak putus-putusnya sambil meracik nasi bungkus dengan lauk sambal dan bebek goreng yang saya pesan. Agak mending bagi saya, karena saya pun perokok. Coba, kalau pembelinya seorang perempuan atau laki-laki pun, yang benci rokok, pastilah bau asap rokok itu akan melekat di nasi, bungkusnya, dan akan terus tercium sampai kapan pun.

Dua laki-laki muda ini layak diacungi jempol dalam hal kegigihannya berusaha. Tetapi, sungguh kasihan, mereka tampak sangat minim wawasan, bagaimana melayani pembeli, bagaimana memersiapkan diri sebagai seorang pengusaha warung yang berpotensi menuai sukses. Lah, kalau gayanya begitu, melayani pembeli sambil terus klepas-klepus rokokan, dan menyabuiti bulu ayam atau bebek saja nggak bisa benar-benar bersiah, bagaimana warungnya bisa laris atau ramai pembeli? Itulah pertanyaan besarnya. [peduli-24]